JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Rendahnya capaian Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) pada 2022 menjadi catatan buruk kinerja Kementerian Pertanian di bawah Syahrul Yasin Limpo. Pasalnya kebijakan Menteri Syahrul kurang mendukung visi dan misi Presiden Jokowi untuk mempercepat target PSR seluas 540 ribu hektare.
Hal ini terungkap dalam Jumpa Pers Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Refleksi Sawit Rakyat 2022 yang bertemakan “Petani Sawit Indonesia Berkelanjutan di tengah Ancaman Resesi 2023” melalui akun resmi youtube DPP APKASINDO. Sebagaimana disampaikan Ketua Umum APKASINDO Dr. Ir. Gulat ME Manurung., MP., C.IMA yang didampingi oleh Sekretaris Jenderal DPP APKASINDO Dr cn Rino Afrino, ST., MM.
Dari data APKASINDO bahwa realisasi program Peremajaan Sawit Rakyat pada 2022 mencapai titik terendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hasil tabulasi tercatat usulan PSR tahun 2022 yang mendapatkan rekomtek (rekomendasi teknis) dari Ditjenbun sekitar 17.908 ha (9,8%) dari total target 180.000 ha/tahun.
Bahkan beberapa provinsi gagal atau realisasi nol persen dalam mengikuti PSR yaitu Provinsi Riau, Bengkulu, Banten, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Gorontalo, Papua Barat dan Papua.
Ada dua faktor yang mengakibatkan PSR berjalan lambat. Pertama, lambannya birokrasi dan terbitnya Peraturan Menteri Pertanian Nomor 03 tahun 2022 (Permentan 03/2022).
Kedua, adanya kekosongan kursi Direktur Jenderal Perkebunan mulai Mei 2021 hingga Juli 2022 pasca pelantikan Kasdi Subagyono sebagai Sekretaris Jenderal Kementan. Akibatnya, realisasi PSR mulai tahun 2021 menurun tajam di banding tahun 2020 dan 2019. Realisasi 2021 hanya mencapai 27.746 ha atau 15% dari target 180.000 ha/tahun sedangkan di tahun 2020 dan 2019 mencapai 91.994 ha (51%) dan 88.339 ha (49%).
Mengenai Permentan 03/2022, aturan yang terbit Februari 2022, tetapi baru berjalan memasuki Juli. Itupun tidak langsung jalan karena perlu beberapa penyesuaiaan serta sosialisasi. Situasi kemudian diperparah ketika semua usulan yang sudah masuk sebelum Permentan 03/2022 terbit lalu dikembalikan lagi kepada petani untuk diperbaiki sebagaimana Permentan 03/2022.
Permentan 03/2022 memasukan syarat tambahan yang mengakibatkan kegagalan mengikuti PSR yaitu surat keterangan bebas kawasan lindung gambut sebagai persyaratan boleh mengikuti PSR. Dari kajian APKASINDO syarat tambahan ini tidak melalui koordinasi yang seharusnya dengan kementerian yang membidangi lingkungan hidup, di mana hasil konsultasi dari kementerian tersebut bahwa tidak dikenal istilah kawasan lindung gambut dalam disiplin ilmu gambut, yang ada adalah Fungsi Lindung Ekosistem Gambut (FLEG) dan Fungsi Budidaya Ekosistem Gambut (FBEG).
Syarat bebas kawasan lindung gambut menjadi tidak relevan dengan semangat replanting dimana kondisi eksisting lahan tersebut sudah tertanam kelapa sawit. Sebagaimana dipertegas melalui surat edaran Surat Edaran (SE) Dirjen PPKL Nomor SE- 3/MENLHK-PPKL/SET/KUM/11/2019, bahwa dalam SE ini pada poin 9 huruf
(b), tertulis bahwa KLHK malah tidak melarang pemanfaatan Fungsi Lindung Ekosistem Gambut (FLEG) dan Fungsi Budidaya Ekosistem Gambut (FBEG) yang sudah eksisting, sudah ada tanamannya (dimanfaatkan) dan tetap dapat dilanjutkan pemanfaatannya, dengan catatan harus tetap menjaga fungsi hidrologis gambut tersebut. Oleh karena itu, tidak relevan jika gambut dijadikan syarat PSR sebab Kementerian LHK saja tidak melarang.
Akibatnya timbul kebingungan di kalangan petani sawit di provinsi yang tidak memiliki lahan gambut karena mereka tetap dipersyaratkan mendapatkan surat keterangan tersebut sebagaimana persyaratan aplikasi PSR online.
Padahal sudah diterbitkan surat Dirjenbun kepada kepala dinas yang membidangi perkebunan se-Indonesia, Nomor 1657/PL.030/E.4/10/2022 tentang Surat Keterangan Tidak Berada dalam Kawasan Lindung Gambut. Seperti contoh Provinsi Sulawesi Selatan, petani APKASINDO sampai berbulan-bulan menunggu surat keterangan bebas kawasan lindung gambut tersebut.