MEDAN, SAWIT INDONESIA – Di hadapan ratusan peserta IPOS Forum ke-7, Dr. Ir. Gulat ME Manurung, MP, CIMA, C.APO, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indoesia menegaskan bahwa kemitraan yang sehat dapat berjalan asalkan berkeadilan dan sama-sama menguntungkan. Itu sebabnya, keadilan itu terwujud dengan tanpa membedakan.
Pandangan ini disampaikannya menyikapi tidak berjalannya Peraturan Menteri Pertanian Nomor 01/2018 mengenai Penetapan Harga TBS Produksi Pekebun. Sejak 2021, bolak-balIk dibuat kesepakatan di Ditjenbun antara korporasi dengan petani untuk harga TBS, tapi hasilnya “numpang lewat saja”. Kenapa begitu ? Karena tidak ada sanksi di Permentan 01/2018.
“Peraturan Menteri Pertanian Nomor 01/2018 memang bagus di zamannya. Tetapi tidak untuk saat ini. Saya bicara ini bukan kaleng-kaleng. Ada tiga kali FGD Ilmiah ditambah 2 kali FGD bertemakan “Kemitraan Dulu, Kini dan Masa Depan” membahas kaitannya dengan Permentan 01/2018 ini dilakukan. Rekomendasinya aturan yang sudah berjalan empat tahun ini harus direvisi. Jangan ada lagi opini bahwa aturan ini sudah sempurna dan tidak bisa diubah. Di dunia ini, saya tegaskan hanya kitab suci yang tidak bisa diubah. Lainnya bisa,” tegas Doktor Lulusan Tercepat (2 tahun) Universitas Riau ini.
Gulat memaparkan kelemahan Permentan 01/2018 yang berdampak kepada kesejahteraan petani. Sebagai contoh, pabrik di atas umur ekonomis 15 tahun tetap membebani petani dengan biaya penyusutan. Padahal, biaya penyusutan diberlakukan apabila umur ekonomis masih di bawah 15 tahun sebagaimaan tertuang dalam penghitungan besarnya indeks K dalam Permentan 01/2018.
“Faktanya, pabrik sawit sudah berumur 30 tahun tetap saja dbebankan biaya penyusutan. Apa yang mau disusutkan?, orang umur buku PKS itu paling maksimum 20 tahun, setelah itu nol. Yang ada harusnya biaya perawatan. Ini semua kami gesa direvisi untuk kebaikan semua pihak, jangan nanti jadi berdampak pidana khusus,” jelas Gulat dalam keterangannya.
“Yang paling membebani petani adalah BOTL (red- biaya operasional tidak langsung). Petani harus menanggung beban biaya ini tetapi tidak tahu dimanfaatkan untuk apa. Jelas-jelas Permentan 01/2018 mewajibkan laporan penggunaan BOTL. Saya mengutip kata Prof Ponten, apabila BOTL tidak ada pertanggunjawabannya. Maka, tidak ada penerapan BOTL di bulan berikutnya,” kata Gulat.
Perkataan ayah dua anak ini mengacu kepada pasal 17 Permentan 01/2018. Disebutkan bahwa perusahaan perkebunan wajib menyampaikan laporan penerimaan dan pemanfaatan Biaya Operasional Tidak Langsung (BOTL) paling singkat 1 (satu) bulan sekali kepada gubernur dan tim penetapan harga pembelian TBS.
Berkaitan pola kemitraan yang sehat, diibaratkan Gulat, seperti orang pacaran. Karena aturan yang berisi 22 pasal ini memberikan beban terlampau berat kepada petani. Dalam kemitraan, petani diwajibkan untuk bermitra. Namun, perlakuan serupa tidak berlaku bagi korporasi (tidak diwajibkan).
“Kemitraan ini ibarat orang pacaran karena satu sama lain saling suka dan membutuhkan. Kalau ada satu pihak tidak mau, bagaimana kemitraan sehat bisa berjalan?” Tanya Gulat.
Gulat juga menyoroti soal telah naiknya kualitas buah sawit petani. Seperti masalah rendemen buah petani tidak pernah diperhitungkan. Padahal merujuk penelitian Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) di 10 provinsi sawit, ada kenaikan rendemen petani dari sebelumnya 20,25% menjadi 22%-23%.”Kalau ada kenaikan rendemen, apa itu tidak menandakan buah sawit petani berkualitas?” tanya Gulat.
Gulat menegaskan petani telah menggunakan bahan tanaman unggul dan bersertifikat dari 19 produsen benih sawit. Dalam leaflet setiap produsen, ada keterangan potensi benih dapat menghasilkan rendemen dapat di atas 25%- 29%. Saat ini, hampir seluruh kebun petani seluas 4 juta hektare telah memakai benih bersertifikat. Seharusnya buah sawit petani tidak perlu lagi diragukan.
“Jika petani sawit tidak meningkat kualitas rendemennya. Maka, kami bisa gugat produsen benih sawitnya karena dicantumkan potensi rendemen mencapai 25 sampai 29 persen. Sedangkan, pabrik selalu menilai rendemen petani di bawah standar,” urai Gulat.
Memang kami akui, ada beberapa korporasi yang sudah menempatkan petani sawit sebagai mitra strategis dan sangat bagus dijadikan sebagai contoh, namun dari 2.511 (BPS, 2020) perusahaan yang baik tersebut paling hanya 100 dan semuanya anggota GAPKI.
Makanya kami Petani sawit berharap, dari 2.511 korporasi sawit tersebut anggota GAPKI hanya 718. Ke depannya semua korporasi sawit diwajibkan masuk GAPKI yang diatur dalam regulasi. Jadi kami petani sawit bisa lebih mudah berkomunikasi ke GAPKI, faktanya seperti itu.
Kata kuncinya adalah sanksi tegas dalam regulasi yang terlupakan di Permentan. Untuk itulah, dikatakan Gulat, revisi Permentan 01/2018 sangat mendesak dilakukan demi menyelamatkan seluruh pelaku sawit baik petani dan perusahaan.
Menurutnya, kalau ada yang mengusulkan dibuat Permentan Harga TBS khusus petani swadaya, maka usul ini tidak relevan. Karena jangan lagi petani dibeda-bedakan. Saat ini, perkebunan sawit petani swadaya sekarang ini sudah 93% dari total luas lahan petani, sedangkan petani plasma mitra hanya 7%
“Saya tegaskan kemitraan yang berkeadilan dapat berjalan asalkan jangan pernah membedakan (petani),” tegas Gulat.