JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Pelaku industri sawit berharap ketegasan pemerintah pusat terhadap peraturan daerah (perda) yang mengganggu iklim dunia usaha. Semangat mempermudah investasi bisa tidak berjalan akibat adanya peraturan daerah yang membebani industri.
Keluhan ini disampaikan perusahaan anggota Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dalam diskusi webinar bertemakan “Menyikapi PERDA yang Sudah Dibatalkan Namun Tetap Dijalankan – PERDA Kemitraan dan Ranperda” yang diselenggarakan GAPKI Cabang Sumut dan Aceh, Rabu (14 Oktober 2020).
Joko Supriyono, Ketua Umum GAPKI mengatakan industri sawit di dalam negeri menghadapi permasalahan klasik berkaitan peraturan daerah (perda) yang bersifat menghambat dan mengganggu industri sawit. Sebagai contoh, ada Perda yang larangan truk pengangkut sawit melewati jalan umum, retribusi izin gangguan, dan pajak penerangan jalan.
“Persoalan lain, peraturan daerah tidak konsisten dengan regulasi pemerintah pusat. Ada perundang-undangan melarang pembukaan lahan dengan cara membakar. Namun, pemerintah daerah membuat regulasi yang mengizinkan masyarakat membakar lahan untuk lahan pertanian,” ujarnya.
Diskusi ini menghadirkan pembicara yaitu R.Ghani Muhamad (Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri RI) dan Dr. Sadino sebagai moderator. Ghani Muhamad menjelaskan bahwa pembinaan peraturan daerah yang dijalankan Kementerian Dalam Negeri menjadi terbatas setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi. Kini, peranan Kementerian Dalam Negeri bersifat fasilitasi bagi perda bermasalah. Hal inilah yang membuat pengawasan perda kurang optimal.
Proses pengawasan peraturan daerah kini sifatnya berjenjang. Dalam hal ini, Gubernur memiliki kewenangan mengawasi perda kabupaten/kota. Selanjutnya Menteri Dalam Negeri berwenang mengawasi perda provinsi.
“Ini (pengawasan) diatur berjenjang mulai dari kabupaten/kota sampai provinsi. Apabila pemerintah provinsi menilai muatan materi perda berdampak negatif bagi dunia usaha dan ekonomi biaya tinggi. Maka, materi tadi dapat dicoret. Memang, perlu ketelitian dan kejelian dari provinsi. Jika tidak, akan banyak perda kabupaten dan kota yang lolos dari perhatian.
Terbatasnya wewenang Menteri Dalam Negeri untuk membina perda pasca terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) melalui dua uji materi sekaligus. Pertama, Putusan MK Nomor 137/PUU-XIII/2015 yang diterbitkan pada April 2017. Putusan tersebut menganulir kewenangan MK terkait pembatalan Perda Kabupaten/Kota serta peraturan bupati/wali kota.
Kedua, pembatalan kewenangan Mendagri terkait mencabut perda bermasalah juga tertuang dalam Putusan MK Nomor 56/PUU-XIV/2016. Putusan ini terkait pembatalan perda oleh gubernur dan menteri yang diterbitkan pada 14 Juni 2017 kemarin. Pasca putusan MK ini, maka Mendagri tidak lagi bisa mencabut Perda Provinsi. Pertimbangan MK dalam putusannya mengacu putusan uji materi Nomor 137/PUU-XIII/2015 yang diterbitkan pada 5 April 2017. Putusan ini menerangkan bahwa Pasal 251 Ayat 2, 3, dan 4 UU Pemda sepanjang mengenai Perda Kabupaten/Kota bertentangan dengan UUD 1945. Dalam putusan itu juga, MK menyatakan demi kepastian hukum dan sesuai dengan UUD 1945, maka pengujian atau pembatalan perda menjadi ranah kewenangan konstitusional Mahkamah Agung (MA).
Dalam rangka meningkatkan daya saing industri. Ghani menjelaskan bahwa pemerintah melalui Undang-Undang Cipta Kerja telah mencabut jenis retribusi izin gangguan. “Retribusi izin gangguan ini warisan kolonial. Kini tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman,” ujarnya.
Sebagai informasi,Penghapusan retribusi izin gangguan juga berkaitan dengan PP No. 24/2018 tentang Online Single Submission (OSS). Pada pasal 62 PP 24/2018, izin gangguan dilebur dalam penyusunan dokumen Amdal atau Upaya Pengelolaan Lingkungan – Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL).
Untuk diketahui, objek retribusi izin gangguan sebelumnya berlaku untuk orang pribadi atau badan yang tempat usaha/kegiatan dapat menimbulkan ancaman bahaya, kerugian atau gangguan.