JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Organisasi Riset Tata Kelola Pemerintahan, Ekonomi, dan Kesejahteraan Masyarakat (OR TKPEKM) berkolaborasi dengan Perhimpunan Periset Indonesia (PPI) menyelenggarakan kembali Simposium Praktisi dan Periset Ekonomi (Pareto) 2023 di Kawasan Sains Sarwono Prawirohardjo BRIN, Jakarta. Kegiatan yang mengangkat tema The Downstream Industrialization of Natural Resources ini dihelat selama dua hari mulai Rabu hingga Kamis (6-7/12).
Pareto dirancang sebagai sebuah momentum bagi berbagai pihak yang terlibat dalam dunia sosial ekonomi yang merupakan motor bagi penggerak perekonomian bangsa Indonesia. Pada forum ini para akademisi, praktisi bisnis, dan pemerintah dapat saling berbagi informasi dan pengalaman proses hilirisasi industri seperti nikel, rumput laut, sorgum, dan minyak kelapa sawit. Tujuannya diperoleh faktor pengungkit (leverage factor) agar Indonesia dapat menjadi negara maju.
Pada kesempatan tersebut, Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko mengungkapkan bahwa hilirisasi industri sangat penting sebagai langkah tahap awal dari upaya pemerintah saat ini, untuk membuat Indonesia menjadi negara maju dan melewati bonus demografi sebelum terkena middle income trap. Dia menyebutkan peran besar riset dalam mendukung hilirisasi industri. “Hilirisasi tidak akan terjadi tanpa adanya dukungan riset,” imbuhnya
Hilirisasi yang dimaksud, lanjut Handoko, tidak hanya terbatas dalam hal pertambangan yang ekstraktif seperti nikel dan seterusnya. Namun juga dalam konteks sumber daya alam lebih luas yaitu hasil pertanian yang sifatnya baru dan terbarukan.
Handoko menekankan, meskipun hilirisasi harus secepatnya dilakukan dengan adanya bonus demografi. Tentunya banyak risiko yang harus menjadi perhatian, khususnya bagi para periset BRIN yang bergerak di bidang ekonomi karena terdapat berbagai isu terkait hilirisasi. “Pertama, selalu ada masalah dikotomi dalam penciptaan lapangan kerja. Walaupun tidak semua, namun biasanya hilirisasi selalu memiliki konteks padat modal dan padat teknologi, sehingga potensi penyerapan tenaga kerjanya kecil,” ujarnya.
“Penciptaan lapangan kerja harus kita ciptakan secara masif tapi hilirisasi penciptaan nilai tambah juga harus dilakukan. Karena kalau tidak, kemampuan menciptakan lapangan kerja, melakukan fasilitasi, enabling oleh pemerintah itu juga tidak akan meningkat,” tuturnya.
Setelah masalah dikotomi dalam penciptaan lapangan kerja, disebutkannya bahwa hilirisasi pasti membutuhkan infrastruktur. “Itu sebabnya kenapa hilirisasi kita lemah, karena infrastruktur dasar kita lemah. Infrastruktur tidak boleh dibebankan kepada pelaku usaha yang melakukan hilirisasi, melainkan menjadi tanggung jawab pemerintah sebagai fasilitator dan enabler,” sebutnya.
Isu berikutnya adalah terkait pemilihan fokus hilirisasi. Menurutnya kita tidak bisa dan tidak perlu melakukan hilirisasi di semua hal apalagi di tengah era globalisasi, di mana sentra produksi ada di berbagai belahan dunia dan tidak semua hal bisa dilakukan hanya oleh satu negara saja.
“Kemandirian itu harus dicapai. Kalau dalam konteks riset, kita harus bisa bikin ini, bikin itu, tetapi tidak harus diproduksi di Indonesia kalau memang itu secara bisnis belum visible,” ungkapnya.
Sebagai pembicara kunci, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia, Muhadjir Effendy memaparkan mengenai dampak hilirisasi sumber daya alam (SDA) terhadap pembangunan sumber daya manusia (SDM). Disampaikannya bahwa banyak negara di dunia dengan SDA yang melimpah, tetapi belum menjadi negara maju.
“Kekayaan SDA tidak berkontribusi meningkatkan PDB (Produk Domestik Bruto) per kapita atau disebut paradoks atau kutukan SDA, the curse of natural resources. Hilirisasi menjadi window of opportunity bagi Indonesia untuk maju dan keluar dari paradoks ini,” katanya.
Lebih lanjut, Muhadjir memerinci bahwa hilirisasi juga memberikan lebih banyak kesempatan kerja, sehingga masyarakat berpeluang meningkatkan taraf hidup. Hal tersebut akan menurunkan angka kemiskinan. “Hilirisasi yang sejalan dengan ekonomi hijau, mendukung peningkatan kualitas hidup masyarakat melalui pembangunan pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur,” rincinya.
“Diperlukan kolaborasi industri hilir dengan pengusaha nasional di berbagai daerah agar dampak hilirisasi dapat terwujud. Pemerintah berkomitmen dalam menerapkan kebijakan yang mendukung,” tegasnya.
Kegiatan dilanjutkan dengan seremoni penandatanganan kerja sama antara OR TKPEM BRIN dengan berbagai mitra. Pertama dengan Komite Daerah Ekonomi Keuangan Syariah (KDEKS) Provinsi Sumatera Barat dan PT. Xultan Riset Edukasi Integral tentang pengembangan produk halal. Kemudian dengan Fakultas Peternakan Universitas Gajah Mada tentang penelitian proses rantai pasok dan sistem ketelusuran halal daging sapi dan unggas untuk mendorong peningkatan konsumsi makanan halal. Lalu dengan Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Purworejo terkait kajian daya saing angkatan kerja melalui sistem informasi. Selain itu juga terkait kajian daya saing pertanian dengan pendekatan rantai pasok di Kabupaten Purworejo.
Kerja sama dengan Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani) terkait riset model dan rantai pasok kayu energi sebagai bahan confiling Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara. Terakhir, kerja sama dengan Fakultas Ekologi Universitas Mercubuana terkait dengan adaptasi dan validasi skala playful work design versi Indonesia.
Gubernur Sumatera Barat, Mahyeldi Ansharullah memberikan apresiasi atas dilakukannya kolaborasi antara BRIN dengan berbagai mitra. “Kami berterimakasih atas penandatanganan kerja sama yang dilakukan khususnya dengan KDEKS di Sumatera Barat, di bidang pengembangan industri halal,” ucapnya.
Sumber: brin.go.id