JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Industri sawit membutuhkan hubungan kemitraan perusahaan dan petani supaya daya saing dan keberlangsungan usaha sawit dapat berjalan. Untuk itu, butuh kemitraan yang sinergis melalui penguatan kelembagaan di tingkat petani, membangun prinsip keterbukaan, dan menata pola manejemen kemitraan.
“Kemitraan sangat dibutuhkan petani sawit. Karena tujuannya memberikan kepastian, nilai tambah bagi yang bermitra, pertumbuhan ekonomi, pemerataan serta pemberdayaan masyarakat serta usaha kecil,” ujar Gulat ME Manurung, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO).
Gagasan ini tersebut terungkap dalam Dialog Webinar UMKM sesi ketiga yang diselenggarakan Majalah Sawit Indonesia dan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS), Jumat (28 Agustus 2020). Dialog ini bertemakan “Kemitraan Sinergis dan Penguatan Kelembagaan Bagi Rantai Pasok Sawit Yang Efisien” yang menghadirkan pembicara antara lain Joko Supriyono (Ketua Umum GAPKI), Gulat ME Manurung (Ketua Umum DPP APKASINDO), Normansyah Syahrudin, Ph.D (Kasubdit Pemasaran Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian RI), dan M. Ferrian (Plt. Direktur Kemitraan BPDP-KS).
Gulat mengatakan prinsip kesetaraan harus diutamakan dalam kemitraan antara petani dan perusahaan. Prinsip setara ini sebagai jalan keluar atas permasalahan kemitraan yang terjadi di masa sebelumnya seperti persoalan keterbukaan, pergeseran komitmen, dan persoalan biaya operasional.
“Supaya bisa setara, petani perlu dibantu untuk memperbaiki aspek legalitas kebun. Kami ingi ingin persoalan kebun sawit petani yang dimasukkan sebagai kawaasan hutan, bisa selesai. Bagaimana bisa setara apabila petaninya tidak jelas (legalitasnya),” kata Gulat.

Dikatakan Gulat, kelembagaan petani perlu diperkuat dan ditingkatkan peranannya. Melalui kelembagaan yang baik lebih mudah membangun kemitraan sinergis antara perusahaan dan petani. “Model kemitraan dapat diperluas lagi untuk masa kini. Jangan lagi, polanya sebatas kerjasama untuk suplai buah sawit ke pabrik,” tambah Gulat yang juga auditor ISPO ini.
Dari kalangan pengusaha, Joko Supriyono, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menjelaskan bahwa rantai pasok sawit tidak bisa dipisahkan antara perusahaan dan petani. Kesolidan rantai pasok yang akan menentukan seberapa kuat industri sawit dan berdaya saing. Kalau ada hambatan dalam rantai pasok maka industri akan terdampak.
“Kemitraan menjadi keniscayaan. Hal ini disebabkan adanya tuntutan industri sawit harus semakin kompetitif di pasar global. Di antara komoditas lain, kemitraan petani dengan perusahaan sawit menjadi contoh paling ideal,” jelas Joko.

Sebagai contoh, di komoditi lain seperti karet dan kakao tidak terjadi keseimbangan antara petani dan perusahaan yang berdampak pada survivalnya. Di industri sawit, pengelolaan kebun dilakukan oleh petani dan perusahaan. Kemitraan inilah yang menjadikan industri sawit mampu bertahan bahkan berkembang.
Berkaitan rantai pasok industri sawit, Joko mengingatkan bahwa rantai pasok seharusnya menjadi kepentingan bersama. Langkah ini perlu dilakukan sehingga industri sawit harus mampu bersaing di pasar global maka harus kuat dan berdaya saing secara global.
Normansyah Syahrudin,Phd, Kasubdit Pemasaran Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian RI, menjelaskan bahwa pemerintah telah mengatur pola kemitraan perusahan dan petani melalui Permentan Nomor 01 tahun 2018 mengenai Pedoman Penetapan Harga Pembelian Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Produksi Pekebun. Aturan ini telah mengatur definisi pekebun dan kemitraan dalam peraturan sehingga lebih bisa dipahami semua pihak.
“Intinya, aturan Permentan nomor 01 ini difokuskan kepada pembelian harga TBS sesuai ketetapan tim provinsi tiap bulan.
Maka kelembagaan petani harus bermitra dengan pabrik sawit. Jadi saya ingin meluruskan, permentan ini dinilai hanya ditujukan kepada petani plasma. Padahal, tidak seperti itu karena bisa dipakai petani swadaya asalkan bekerjasama dengan pabrik. Dengan begitu, akan menerima harga sesuai ketetapan tim harga TBS di masing-masing provinsi,” ujar Normansyah.

Permentan ini juga telah mengatur aspek kemitraan dalam pembelian harga TBS yang meliputi kerjasama saling menguntungkan, saling menghargai, saling bertanggung jawab, serta saling memperkuat dan saling ketergantungan antara perusahaan perkebunan dengan pekebun. “Namun juga sering terjadi, baik petani dan pabrik tidak mematuhi perjanjian kerjasama tersebut. Secara regulasi, kemitraan telah diatur untuk saling menguntungkan dan bertanggung jawab,” jelasnya.
Dikatakan Normansyah, Kementerian Pertanian telah membuat petunjuk teknis kemitraan yaitu Perusahaan perkebunan menerima TBS yang dikirimkan lembaga mitra dan lembaga mitra wajib mengirimkan TBS ke PKS mitra. Dengan jangka waktu kemitraan paling singkat 10 tahun untuk menjamin hubungan kemitraan yang berkelanjutan.
M.Ferrian, Plt. Direktur Kemitraan BPDP-KS menjelaskan bahwa ada kesamaan pandangan antara BPDP-KS dengan petani berkaitan persoalan yang mereka hadapi seperti akses pasar. Keinginan petani naik kelas seperti dikatakan Ketua Umum DPP APKASINDO dapat dibarengi melalui kemampuan tidak sebatas menjual buah sawit.
“Untuk itu, mari kita dorong dan bantu membantu petani untuk mampu mengolah TBS menjadi CPO. Ini dapat dilakukan dan dananya ada,” jelas Ferrian.

Ferrian menjelaskan bahwa BPDP-KS mendorong petani mampu membangun pabrik sawit asalkan telah dilakukan studi kelayakan. Studi ini dapat mempertimbangkan pasokan bahan baku, permodalan, pengetahuan dan ketrampilan, fasilitas pengolahan TBS, dan potensi pasar.
“BPDP-KS dapat memberikan dukungan pendanaan kepada petani sesuai arahan regulasi. Tetapi supaya dampaknya besar, maka perhatikan seluruh aspek bisnisnya tadi. Pelatihan bisa disediakan begitupula pendanaan sarana prasarana sesuai aturan dari Kementerian Pertanian,” pungkasnya menutup pembicaraan.