- Pemberian bahan amelioran gambut. Bahan gambut umumnya mengandung kurang dari 5% fraksi anaorganik sedangkan selebihnya (95%) adalah fraksi organik. Fraksi organik sebagian besar terdiri dari senyawa-senyawa non-humat, sengkan senyawa humat sekitar 10 hingga 20% (Driessen, 1978). Senyawa non-humat tersebut di antaranya meliputi senyawa lignin, selulosa, hemiselulosa, lilin, tanin, resin, suberin, dan sejumlah kecil protein. Senyawa humat terdiri dari asam humat, himatomelanat, dan humin (Stevenson, 1982, Tan, 1993). Mengingat tingginya fraksi organik dalam gambut, maka gambut merupakan tanah yang mudah rusak, atau dengan kata lain mempunyai stabilitas yang rendah. Mempertahankan kadar aiar itu di dalam bahan gambut pada keadaan jenu air, atau minimal pada keadaan kadar air di atas batas kritis, merupakan salah satu cara untuk mempertahankan kesetabilan bahan gambut. Konsep dasarnya adalah proses oksidasi bahan organik harus dihambat sekecil mungkin. Akan tetapi upaya ini belum maksimal apa bila tidak dilakukan secara sinergi dengan upaya lain yang mampu menekan terjadinya proses disinergi bahan organik. Pembentukan senyawa kompleks, yaitu suatu reaksi antara ion logam polivalen dengan ligan melalui ikatan pasangan elektron, adalah cara perbaikan untuk meningkatkan stabilitas bahan organik dalam gambut. Asam organik mampu mengikat ion-ion logam transisi, seperti AL, Fe, Cu, Zn, dam Mn membentuk ikatan kovalen yang cukup kuat (khelat). Hasil penelitian bersama (Mario dan Sabiham, 2002) menunjukan bahwa dengan pemberian bahan mineral yang diperkaya bahan yang mengandung Fe3+ tinggi (seperti terak baja), dengan dosis 5% erapan maksimum Fe3+, mampu meningkatkan produksi padi dengan sangat nyata dn stabilitas gambut dengan memperkecil rata-rata kehilngan karbon (C) pertahun 28% (0,597 ton C ha-1 tahun-1) pada gambut air tawar, 30% (0,609 ton C ha-1 tahun-1) pada gambut air payau, 31% (0,628 ton C ha-1 tahun-1) pada gambut marin.
- Perbaikan lingkungan mikro di areal perkebunan. Upaya ini dapat dilakukan melalui pengembangan seperti penulis telah sering sebutkan sebagai “hutan kebun”, yaitu dengan memanam tanaman pepehonan disepanjang jalan perkebunan. Walaupun belum ada informasi/data yang secara detail mengenai pengaruhnya terhadap lingkungan mikro,tetapi berdasarkan pengalaman dalam pengembangan “hutan kota” telah memberikan suasana nyaman bagi masyarakat yang tinggal di kota tersebut.
Untuk lahan gambut yang telah dibuka akan tetapi belum ditanami, pengolahannya diusulkan sebagai berikut:
Apabila dibawah endapan gambut tidak di jumpai tanah mineral bermasalah, maka dapat dilanjutkan penanaman dengan mengupayakan kegiatan seperti pada lahan gambut yang telah dibuka dan telah ditanami tersebut di atas, namun apabila dijumpai tanah mineral bermasalah pada lahan gmbut tipis (<1m) maka lahan gambut tersebut perlu dikonservasi.
Untuk lahan gambut yang belum dibuka (umumnya sejak awal penyeraahan HGU, hutan sudah terganggu), pengelolaannya diusulkan sebagai berikut :
- Ketebalan gambut ,3m. Hutan dengan bahan substratum (tanah mineral di bawah gambut tidak bermasalah) diusulakn dapat dibuka dan dikembangkan.
- Ketebalan gambut >3m. Lahan gambut demikian diusulkan untuk dikonservasi.
Sumber : Desain Pengelolaan Lahan Gambut Untuk Mendukung Produktivitas Pertanian Berbasis Perkebunan, Prof. Dr. Supiandi Sabiham.