JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Karut marutnya masalah lingkungan tidak bisa dipisahkan dari dosa masa lalu berbagai pihak mulai dari pemerintah, oknum pengusaha, masyarakat sampai LSM. Dampaknya dirasakan sampai sekarang yaitu masalah lingkungan menjadi rutinitas tahunan dan sulit sekali diselesaikan.
Amnesti lingkungan dibutuhkan lantaran semua pihak terlibat dalam kesalahan tata kelola lingkungan. Seperti dalam isu kebakaran, negara membolehkan pembakaran lahan dengan pertimbangan kearifan lokal. Lalu ada mafia lahan yang memanfaatkan kekacauan hukum dan situasi. Perusahaan juga lalai dalam mengelola masalah lingkungan. Sementara itu, LSM bertahun-tahun menjual nama masyarakat dan isu kemiskinan serta kerusakaan lingkungan demi pendanaan lembaganya.
Ricky Avenzora, Pengamat Lingkungan, mengusulkan kepada pemerintah supaya diterapkan model amnesti lingkungan. alasannya benang kusut masalah lingkungan tidak akan bisa diselesaikan dengan pola kerja “business as usual”. Disini butuh kemauan politik yang cerdas dan taktis guna memancangkan kinerja alam dan lingkungan.
Menurut Ricky, dalam konteks hukum positif memang amnesti mengindikasikan kebutuhan putusan pengadilan. Tapi dalam perspektif politik dan sosial kebijakan amnesti bisa diambil sebagai taktik penyelesaian kesalahan segera mungkin.
“Kalau memakai rekonsiliasi itu memakan proses yang lama karena rekonsiliasi mesti disertai pula pengungkapan kebenaran,”kata Ricky kepada SAWIT INDONESIA melalui pesan singkat.
Dilanjutkan Ricky, amnesti lingkungan berupa kebijakan politik disertai deregulasi aspek hukum dan harmonisasi kebijakannya. Amnesti lingkungan sangat efektif menjadi “starting point” untuk menggerakkan kapasitas finansial pengusaha nasional dan daya sosial masyarakat lokal supaya dapat membantu pemerintah dalam perencanaan mikro tentang pengelolaan dan pengusahaan hutan,.
Pertimbangan lainnya adalah mencegah berbagai kemungkinan “destructive behavior” di masa depan,” ujar pengajar Fakultas Kehutanan Insitut Pertanian Bogor ini.
Baru-baru ini, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat konflik agraria sektor perkebunan 2015 seluas 302.526 hektar, disusul sektor kehutanan 52.176 hektar, pertambangan 21.127 hektar, pesisir-kelautan 11.231 hektar, infrastruktur 10.603 hektar, lain-lain 1.827 hektar dan pertanian 940 hektar.