JAKARTA, SAWIT INDONESIA- Pemerintah tidak tinggal diam terhadap tuduhan deforestasi yang terdapat dalam Report on Palm Oil and Deforestation of Rainforest yang disetujui Parlemen Uni Eropa.
“Kami (pemerintah) sedang mengumpulkan penelitian untuk membuktikan praktik perkebunan kelapa sawit di Indonesia mengikuti aspek keberlanjutan (sustainability),”kata Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator bidang Perekonomian Musdalifah Machmud dalam diskusi “Membedah Kepentingan Tersembunyi Resolusi Sawit Eropa yang diadakan Majalah Sawit Indonesia di Jakarta, Selasa (9/5/2017).
Menurut Musdhalifah dokumen ini penting supaya tuduhan Resolusi Eropa dapat dijawab sehingga komisi Uni Eropa tidak menyetujuinya.
Staf Ahli Bidang Diplomasi Ekonomi Kementerian Luar Negeri Ridwan Hassan menyebutkan resolusi Uni Eropa ini terbilang cacat karena tidak mempertimbangkan upaya pemerintah dalam penerapan perkebunan yang berkelanjutan, seperti pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG).
“Sebetulnya kekurangan ini dapat menjadi celah dalam berargumen dengan Uni Eropa bahwa produk kelapa sawit Indonesia sudah mengikuti prinsip keberlanjutan. Data (Eropa) tidak akurat. Karenanya, kami menilai kebijakan ini bersikap diskriminatif,” tegas Ridwan.
Musdalifah Machmud mengatakan komitmen pemerintah maupun parlemen Indonesia terhadap sawit kuat. Untuk itu akan membentuk tim tertentu guna menghadapi tantangan pada industri sawit tersebut.
Sementara itu Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan menyatakan, kebijakan yang ditempuh Uni Eropa melalui resolusi parlemen terhadap sawit Indonesia tersebut merupakan diskriminasi.
Menurut dia salah satu hal yang dituduhkan bahwa perkebunan sawit mengakibatkan deforestasi tidaklah benar, karena sumbangan sawit terhadap berkurangnya hutan atau deforestasi hanya sebesar 8 persen, sedangkan kedelai yang banyak tumbuh di Eropa justru 16 persen dan tebu 5 persen.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono menegaskan putusan parlemen Eropa tersebut terhadap sawit Indonesia sebenarnya merupakan persoalan dagang sehingga pemerintah dapat menerapkan instrumen-instrumen perdagangan untuk menghadapinya.
Dia mencontohkan ketika Pakistan menutup impor minyak sawit Indonesia, ternyata hal itu dilatarbelakangi ekspor jeruk kino negara tersebut yang sulit masuk ke Tanah Air, dan setelah bisa masuk maka ekspor sawit Indonesia ke negara itu kembali normal.
“Perlu kerja sama bilateral. Kita perlu melaksanakan perjanjian kerja sama perdagangan bilateral,” ujarnya.