JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Komitmen enam perusahaan sawit besar dalam Ikrar Industri Sawit Indonesia atau dikenal Indonesian Palm Oil Pledge (IPOP) dikhawatirkan mempersulit usaha sawit rakyat dan berpotensi membuat gesekan sosial. Analisa ini diungkapkan Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) dalam artikel berjudul Indonesia Palm Oil Pledge Mematikan Perkebunan Sawit Rakyat (terbitan Vol.I, No.19/2015).
Tim Riset PASPI menyebutkan banyak aspek yang “diperintahkan” arsitek IPOP yang harus di ikrarkan enam perusahaan sawit besar atau The Big Six. Mereka antara lain Wilmar Indonesia, Cargill Indonesia, Musim Mas, Golden Agri, Asian Agri, dan PT Astra Agro Lestari Tbk. Beberapa aspek yang dinilai krusia seperti (1) Melarang ekspansi kebun sawit (No deforestasi), (2) Melarang kebun sawit di lahan gambut (No Peatland), (3) Melarang kebun sawit menggunakan lahan berkarbon tinggi/High Carbon Stock (No HCS), dan (4) Melarang menampung TBS/CPO dari kebun sawit hasil deforestasi, lahan gambut dan HCS (traceability).
Mesti diketahui, keenam perusahaan sawit tersebut menampung hampir 90 persen seluruh TBS dan CPO Indonesia, termasuk di dalamnya TBS dari 4,5 juta sawit rakyat. Dengan prinsip IPOP yang mencakup seluruh mata rantai (supply chain) perusahaan dan bersifat dapat ditelusuri. Ini berarti, kendati penandatanganan IPOP dilakukan oleh The Big Six, setuju atau tidak setuju, rela atau tidak rela telah menyeret seluruh industri minyak sawit
Indonesia ke dalam pasungan IPOP tersebut.
Dengan pemberlakukan standar IPOP, menurut kajian PASPI, pihak paling dirugikan adalah petani sawit. Pasalnya, produksi TBS petani berpotensi tidak bisa lagi ditampung oleh PKS The Big Six maupun PKS BUMN sawit. Lantaran, standar rekam jejak dari rantai pasok produksi sawit yang melarang deforestasi dan penggunaan lahan gambut.
Akibat lebih jauh yaitu produksi TBS petani yang berjumlah 3 juta kepala keluarga di 190 kabupaten akan menumpuk dan membusuk di kebun. Para pekerja kebun dan pengangkutan TBS di kebun akan menganggur; dan para petani pangan sekitar kebun yang selama ini menjual produksi pertanian ke pekerja kebun sawit, juga akan kesulitan.
“Yang paling menakutkan kalau terjadi kerusuhan sosial lantaran produksi TBS petani tidak diterima,” seperti tertuang dalam riset PASPI.
Apabila berkaca kepada negara lain, pemanfaatan lahan gambut kegiatan pertanian sejak dahulu sampai sekarang terjadi pada setiap negara yang memiliki lahan gambut. Luas gambut dunia tahun 2008 (Joosten, 2009) seluas 385 juta hektar yang terdistribusi di Eropa dan Rusia (44 persen), Amerika (40 persen), Indonesia (7 persen) dan negara lainnya 9 persen.
Di negara-negara tersebut lahan gambut juga dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian. Dari luas gambut global tersebut sekitar 300 juta hektar bahkan sudah digunakan untuk pertanian (Strack, 2008), dimana sekitar 266 juta hektar (88 persen) berada di daerah sub tropis dan didaerah tropis hanya 36 juta hektar (12 persen).
Dalam siaran persnya, Badan Koordinasi penanaman Modal (BKPM) memberikan positif terhadap transformasi industri sawit lewat program Indonesia Palm Oil Pledge(IPOP). Kepala BKPM Franky Sibarani menjelaskan program ini mampu mentransformasikan investasi di sektor kelapa sawit ke arah investasi hijau (green investment) yang ramah lingkungan. Selain itu, inisiatif IPOP dapat mendorong keberlanjutan industri sawit di masa mendatang, dan berkontribusi terhadap penyelamatan lingkungan.
“IPOP dapat mendorong pola bisnis sektor kelapa sawit yang menekankan peningkatan produktivitas daripada pembukaan lahan baru,” jelas Franky.