Jakarta, SAWIT INDONESIA – Pelaku usaha mengusulkan pungutan ekspor (export levy) minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) tidak diberlakukan sementara setidaknya pada Maret-April 2024 agar ekspor kembali bergairah.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekspor CPO Indonesia dan produk turunannya pada Februari 2024 hanya senilai US$ 1,20 miliar atau turun 30,39% dari Januari 2024 yang senilai US$ 1,72 miliar, sedangkan dibanding Februari 2023 yang senilai US$ 1,99 miliar turun 39,58%.
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengatakan usulan tersebut didasarkan karena harga CPO saat ini masih rendah, dibanding dua tahun lalu.
“Supaya ekspor segera dan menutup biaya, levy-nya disetop mulai Maret-April agar ekspor bisa jalan. Ini tidak dipotong, maka kita berani jual dengan harga di bawah. Harga pasar dunia [misalnya] katakanlah US$890 per ton CPO dipotong biaya ekspor US$113 pengusaha dapatnya US$777, rugi dong. Maka dipotong dulu ini, supaya ekspornya bisa jalan. Mungkin para pedangan bergairah mengeluarkan barangnya,” ujar Sahat di Kantor Asosiasi Produsen Bioefuel Indonesia (APROBI) di Jakarta, Kamis (21/3/2024).
Dia menambahkan pemberhentian sementara PE tersebut tidak akan mengganggu pasokan CPO untuk minyak goreng dalam negeri. Sebab, ujar Sahat, para pengusaha masih terikat dengan kewajiban Domestic Market Obligation (DMO) yang saat ini rasionya 1:4.
“Makanya tidak semua pengusaha yang akan diberikan hak ekspor begitu saja. Karena ada tali pengikat yang namanya DMO,” tuturnya.
Lebih lanjut, Sahat juga meminta pemerintah tidak melibatkan swasta dalam distribusi minyak goreng. Hal demikian itu agar menghindari krisis minyak goreng 2 tahun lalu. Menurut Sahat, distribusi minyak goreng sebaiknya diserahkan kepada Badan Usaha Milik Negara atau BUMN.
“Karena disparitas harga tinggi maka tumbuh pedagang dadakan yang susah diawasi. Maka jangan serahkan ke swasta distribusinya tapi pemerintah,” ucapnya.