Pada 2019, nilai ekspor sawit turun 14,7%. Kendati volume ekspor meningkat. Untuk itu, pengembangan pasar baru sangat dibutuhkan untuk menopang kinerja ekspor sawit nasional. Tahun ini, tantangan ekspor berasal dari hambatan dagang dan situasi domestik di negara tujuan.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mencatat pasar ekspor sawit menghadapi tantangan berat pada 2019 di sejumlah negara tujuan. Di Uni Eropa, implementasi RED II menghapuskan penggunaan minyak sawit sebagai bahan baku bioidiesel, perbedaan tariff impor produk minyak sawit Indonesia ke India, kemarau yang berkepanjangan, perang dagang USA dan China dan harga CPO yang terus menurun merupakan tantangan utama yang dihadapi industri sawit hampir sepanjang tahun 2019.
Joko Supriyono, Ketua Umum GAPKI menjelaskan bahwa perang dagang USA dan Tiongkok menyebabkan ekspor kedelai USA ke China terkendala sehingga petani USA yang biasanya memasok dalam jumlah besar ke China harus mencari pasar baru yang menyebabkan harga oilseed dan juga minyak nabati tertekan.
Ada hal yang menarik pada tahun 2019, tepatnya pada 16 Agustus 2019, Presiden Jokowi menyampaikan dalam pidato kenegaraannya bahwa Indonesia akan lebih banyak mengkonsumsi minyak sawit untuk keperluan dalam negeri, terutama untuk biofuel. Dampaknya, harga CPO rata-rata KPBN terus melonjak menjadi USD 483, 497, 582, dan 651 per ton pada September-Desember 2019.
Produksi minyak sawit 2019 mencapai 51,8 juta ton atau sekitar 10% lebih tinggi dari produksi tahun 2018 sementara konsumsi domestik naik 24% menjadi 16,7 juta ton dengan rincian konsumsi biodiesel nailk 49%, pangan naik 14% dan oleokimia naik 9%.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat adanya kenaikan sebesar 3 persen dari 34,4 juta ton pada 2018 menjadi 35,3 juta ton pada 2019. Ketua Umum Gapki Joko Supriyono merinci, komposisi ekspor sawit tersebut terbagi atas ekspor produk olahan CPO sebesar 68%, CPO sebesar 20%, biodiesel sebesar 3% dan oleokimia sebesar 9%.
“Komposisi ekspor hulu dan hilir agak sama dari tahun ke tahun. Ini menunjukkan bahwa industrialisasi atau hilirisasi kita sukses,” ujar Joko.
Ia memaparkan volume ekspor ke sejumlah negara tujuan mengalami penurunan sepanjang 2019. Negara tersebut seperti Amerika Serikat, Bangladesh, Pakistan, Uni Eropa dan India yang mencatat penurunan paling besar.
Lain halnya dengan ekspor minyak sawit ke Timur Tengah, Afrika dan China mengalami peningkatan yang cukup pesat. “Karena mungkin China naiknya cukup besar dan Afrika naiknya besar, sehingga bisa menutupi minus di tempat lain,” terang Joko.
GAPKI mencatat berdasarkan destinasi utama ekspor produk minyak sawit tahun 2019 selain oleokimia dan biodiesel Indonesia adalah China (6 juta ton), India (4,8 juta ton), EU (4.6 juta ton). Khusus untuk produk oleokimia dan biodiesel, ekspor terbesar adalah ke China (825 ribu ton) diikuti oleh EU (513 ribu ton).
Ekspor minyak sawit ke Afrika yang naik 11% pada 2019 dari 2,6 juta ton pada 2018 menjadi 2,9 juta ton dan menunjukkan tren meningkat dari tahun ke tahun memberikan sinyal positif bagi untuk pasar produk minyak sawit Indonesia
Kendati volume naik, kontribusi nilai ekspor produk sawit mengalami kelesuan akibat turunnya harga sawit. BPS mencatat nilai ekspor produk minyak sawit 2019 diperkirakan mencapai US$ 19,24 miliar. Nilai ekspor ini lebih rendah sekitar 14,7% daripada tahun 2018 yang nilainya sebesar US$ 22,08 miliar. Pada 2017, nilai ekspor sawit berkontribusi US$ 23,2 miliar.
“Penurunan ekspor dipengaruhi lesunya harga sawit di pasar global semenjak awal tahun lalu,” ucap Joko.
Di tahun ini, Joko menjelaskan tantangan pasar ekspor sawit masih sama berkaitan hambatan dagang di Uni Eropa dan isu negatif. Selain itu, adanya masalah virus di corona di China. Tetapi, ia yakin persoalan ini hanya temporer dan Tiongkok mampu menyelesaikan masalah ini.
(Selengkapnya dapat di baca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 100)