• Beranda
  • Rubrik
    • Analisis
    • Artikel
    • Berita Terbaru
    • Edisi Terbaru
    • Event
    • Hama Penyakit
    • Hot Issue
    • Inovasi
    • Kinerja
    • Oase
    • Palm Oil Good
    • Pojok Koperasi
    • Profil Produk
    • Sajian Utama
    • Seremoni
    • Sosok
    • Tata Kelola
  • Tentang Kami
  • Susunan Redaksi
  • Hubungi Kami
Facebook Twitter Instagram
Friday, 24 March 2023
Trending
  • Jaga Ketersedian Pangan Jelang Ramadan
  • Strategi Meraih Produktivitas Pertanian Berkelanjutan
  • Anak Petani Sawit: KLHK Jangan Sewenang-Wenang dalam Urusan Kawasan Hutan
  • BPDPKS Promosi Kebaikan Sawit Kepada UKMK Solo
  • Masyarakat Riau Didorong Bijak Dalam Berbelanja
  • Meminimalisir Dampak Bencana, Khususnya Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan
  • Penurunan Harga Kelapa Sawit Sebesar Rp70,96/Kg
  • Sertifikasi Halal Upaya Negara Memberikan Perlindungan Hukum Atas Hak Warga Negaranya
Facebook Instagram Twitter YouTube
Majalah Sawit Indonesia OnlineMajalah Sawit Indonesia Online
Subscribe
  • Beranda
  • Rubrik
    • Analisis
    • Artikel
    • Berita Terbaru
    • Edisi Terbaru
    • Event
    • Hama Penyakit
    • Hot Issue
    • Inovasi
    • Kinerja
    • Oase
    • Palm Oil Good
    • Pojok Koperasi
    • Profil Produk
    • Sajian Utama
    • Seremoni
    • Sosok
    • Tata Kelola
  • Tentang Kami
  • Susunan Redaksi
  • Hubungi Kami
Majalah Sawit Indonesia OnlineMajalah Sawit Indonesia Online
Home » Negara Wajib Jamin Hak Atas Tanah Masyarakat dari Klaim Kawasan Hutan
Berita Terbaru

Negara Wajib Jamin Hak Atas Tanah Masyarakat dari Klaim Kawasan Hutan

By Redaksi SI1 month ago6 Mins Read
WhatsApp Facebook Twitter Telegram LinkedIn Pinterest Email
Share
WhatsApp Facebook Twitter Telegram LinkedIn Pinterest Email

JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Hak yang telah dilekatkan atas tanah pada masyarakat seperti hak milik (HM), hak guna bangunan (HGB), hak guna usaha (HGU), dan hak-hak lainnya wajib dilindungi negara. Pasalnya, hak-hak tersebut merupakan hak konstitusional sesuai Pasal 26G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.

“Meskipun dalam penguasaan hutan, negara harus memperhatikan hak-hak tersebut. Dalam penguasaan hutan, negara tetap wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hak masyarakat yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional,” kata Pakar Hukum Kehutanan dan Pengajar Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia Jakarta, Dr. Sadino, SH, MH, dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi sawitindonesia.com, pada Selasa (7 Februari 2023).

Lebih lanjut, Dr. Sadino, menyampaikan Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan memang belum mencakup norma tentang hak atas tanah yang lainnya yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, sehingga pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945.

“Penyelesaian hak atas tanah dilakukan dengan tahap inventarisasi dan identifikasi hak-hak pihak ketiga adalah pengumpulan data kepemilikan dan penguasaan atas tanah oleh orang perorang atau badan hukum yang sebagian atau seluruhnya berada di dalam kawasan hutan,” imbuhnya.

Menurut Dr. Sadino “hutan negara”, dan “Kawasan hutan negara”, semestinya tidak “dibebani hak atas tanah”, maka jelas pengertiannya. Negara harus memperhatikan hak atas tanah sebagai bentuk perlindungan hukum atas hak konstitusional warga negara. Hal ini tentu sesuai dengan asas hukum Presumptio Iustae Causa (Semua tindakan Pemerintah adalah sah dan benar kecuali dibuktikan sebaliknya melalui Pengadilan).

“Penegakan hukum terkait dengan hak atas tanah harus mengedepankan asas tersebut. Tidak benar hak atas tanah yang masuk kawasan hutan tapi malah  sebaliknya kawasan hutan yang masuk dalam hak atas tanah menurut definisi kawasan hutan negara atau hutan negara jelas maknanya,” jelasnya.

Baca juga :   OJK Kawal Komitmen Perbankan Dalam Program PSR

Hal senada juga disampaikan Guru Besar Ilmu Tanah Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Budi Mulyanto sebaiknya tanah yang sudah dilengkapi legalitas seperti Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan alas hak lain, dilindungi negara dan bukan kategori kawasan hutan.

“Tentu keliru hak atas tanah minta pelepasan karena dimasukkan ke dalam kawasan hutan.Hak atas tanah yang telah dimiliki masyarakat pada prinsipnya bersifat final dan dalam prosesnya telah mengikuti ketentuan perundangan yang berlaku,” kata Prof Budi.

Selanjutnya, ia menambahkan kebijakan ini perlu dilakukan untuk mendorong iklim usaha yang baik dan menggairahkan investasi. Disisi lain, kebijakan ini sebagai wujud saling menghormati antara institusi pemerintahan pemberi izin.

Seperti diketahui, dalam praktiknya terdapat dualisme kebijakan pertanahan di Indonesia.  Di dalam kawasan hutan legalitas pemanfaatan tanah ada melalui izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Sedangkan di luar kawasan hutan atau yang disebut dengan Area Peruntukan Lain (APL) administrasi dan penguasaan tanah merupakan kewenangan Badan Pertanahan Nasional (BPN).

“Dualisme ini berimplikasi pada munculnya berbagai aturan dan regulasi bidang pertanahan baik di dalam dan luar kawasan hutan, termasuk lemahnya kepastian hukum atas pengakuan tanah masyarakat, khususnya masyarakat adat yang telah lama bermukim di wilayah tersebut,” tambah Prof Budi.

“Padahal, sejak zaman Belanda sudah ada pengakuan atas hak-hak pribumi, yaitu Indonesisch bezitsrecht. Maknanya bahwa hak atas tanah masyarakat pada zaman penjajahan diakui sebagai bagian dari hak azasi manusia,” imbuhnya dengan tegas.

Dengan ego sektoral antara lembaga di pemerintahan selalu berakhir dengan menempatkan masyarakat termasuk pelaku usaha sebagai objek kesalahan dan tidak menghormati hak masyarakat. Meski secara hukum, masyarakat punya bukti legalitas hak atas tanahnya baik berupa HM, HGU, HGB dan alas hak lain.

Baca juga :   APKASINDO : Tuduhan Pepsico dan Campina, Lukai Petani Sawit

Dijelaskan Prof Budi, masyarakat yang telah punya legalitas kepemilikan itu, sebaiknya dikecualikan dari sanksi adminitratif atau denda ketika penetapan batas kawasan dilakukan.Kalaupun terpaksa harus dikenakan sanksi, nilainya harus wajar dan terukur. Jika sanksi yang diberlakukan nilainya terlalu besar sama saja dengan “membunuh” usaha rakyat.

“Bahwa pengenaan sanksi adminitratif punya tujuan pembinaan untuk melanjutkan usaha, dilaksanakan secara berjenjang serta tidak multidoors. Kebijakan seperti ini akan memberi ruang dan waktu terukur kepada pelaku usaha untuk menyelesaikan semua proses administrasi dalam rangka mengukuhkan hak (rights), pembatasan (restriction) dan dan tanggung jawab (responsibility) masyarakat dan pelaku usaha atas aset usahanya,” terangnya.

“Pada prinsipnya, legalitas tanah masyarakat dan dunia usaha harus segera diselesaikan untuk memberikan iklim usaha yang baik dan meningkatkan investasi. Selain itu, masyarakat juga bisa tenang bekerja. Selama ini mereka (masyarakat dan dunia) usaha selalu takut tidak bisa melanjutkan usahanya karena status kepemilikan yang diklaim satu pihak. Padahal mereka telah mengelola kawasan tersebut selama berpuluh bahkan ratusan tahun,” pungkas Prof. Budi.

Guru Besar Kebijakan Kehutanan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Sudarsono Soedomo mengatakan, penegakan hukum yang mengatasnamakan klaim kawasan hutan merupakan problem utama dari persoalan tanah di Indonesia. Masa, perusahaan yang sudah punya HGU dituduh menyerobot lahan. Dari aturan mana pemegang HGU dituduh menyerobot kawasan hutan dan dituduh korupsi.

Hutan Sejahterakan Masyarakat hanya jargon

Hingga saat ini dua pertiga daratan di Indonesia ditetapkan sebagai kawasan hutan dan tidak bisa dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

“Jika kebijakan itu terus dipertahankan, Indonesia tidak akan bisa mandiri dalam hal pemenuhan pangan. Bagaimana mungkin, dengan penduduk lebih 270 juta dan hanya mengandalkan sepertiga daratan untuk memenuhi kebutuhan pangan, itu sangat berbahaya. Indonesia tidak akan pernah mencapai swasembada pangan dan akan terus bergantung pada impor,” kata Prof. Sudarsono.

Baca juga :   Tingginya Optimisme Terhadap Prospek Perekonomian Nasional

Selanjutnya, ia menambahkan penguasaan lahan kehutanan secara berlebihan akan memperlambat upaya pemerintah dalam hal meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Terbukti, label Hutan Sejahterakan Masyarakat selama ini hanya menjadi jargon. Sebagian besar desa yang berada di kawasan hutan tetap miskin.

Sebaliknya, kawasan nonhutan yang memiliki luas hanya 35%, justru berkontribusi 99% terhadap Produk Domestik Bruto. Kawasan hutan hanya berkontribusi kurang dari 1%.

“Agar kategori penggunaan tanah sebaiknya mengikuti ketentuan tata ruang yang terbagi dalam kawasan budi daya dan kawasan lindung. Kawasan lindung yang terdiri dari hutan konservasi dan hutan lindung tetap dipertahankan. Sementara, kawasan hutan produksi dihapuskan dan mengubah statusnya menjadi bagian dari kawasan budi daya agar dapat digunakan sesuai manfaat terbaik,” saran Prof. Sudarsono.

Dalam persoalan kawasan hutan, pelanggaran perundang-undangan acapkali justru dilakukan pemerintah sendiri. Di berbagai konflik tenurial, (kementerian kehutanan) justru menjadi pemain utama. Sumbangan terhadap kemakmuran sangat kecil. Tetapi sumbangan terhadap konflik tenurial semakin besar.

Untuk itu, Prof Sudarsono memberikan jalan keluar dari kemelut agraria ini. Pertama, pemanfaatan lahan harus menjadikan sebesar-besar kemakmuran rakyat (sesuai Pasal 33 UUD 1945). Kedua, menyusun tataruang dengan melibatkan semua sektor sebagai keputusan politik negara untuk memilah tanah menjadi kawasan lindung dan kawasan budidaya. Ketiga, mengkontestasikan penggunaan tanah pada kawasan budidaya yang memberi kebebasan kepada penggunanya untuk menentukan usahanya.

“Ke empat, menempatkan urusan tanah pada lembaga non-sektor atau non-teknis. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terbatas hanya mengurus hutan saja (yang ada tanaman hutannya). Kelima, reforma agraria perlu diperluas ke reforma industri pertanian primer agar ada sumber pendapatan baru bagi petani dan negara,” jelasnya.

Share. WhatsApp Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Email Telegram

Related Posts

Jaga Ketersedian Pangan Jelang Ramadan

14 hours ago Berita Terbaru

Strategi Meraih Produktivitas Pertanian Berkelanjutan

15 hours ago Berita Terbaru

Anak Petani Sawit: KLHK Jangan Sewenang-Wenang dalam Urusan Kawasan Hutan

15 hours ago Berita Terbaru

BPDPKS Promosi Kebaikan Sawit Kepada UKMK Solo

16 hours ago Berita Terbaru

Masyarakat Riau Didorong Bijak Dalam Berbelanja

17 hours ago Berita Terbaru

Meminimalisir Dampak Bencana, Khususnya Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan

18 hours ago Berita Terbaru

Penurunan Harga Kelapa Sawit Sebesar Rp70,96/Kg

19 hours ago Berita Terbaru

Sertifikasi Halal Upaya Negara Memberikan Perlindungan Hukum Atas Hak Warga Negaranya

20 hours ago Berita Terbaru

Disperindagkop Memastikan Stok Kebutuhan Pokok Selama Ramadhan

21 hours ago Berita Terbaru
Edisi Terbaru

Majalah Sawit Indonesia Edisi 136

Edisi Terbaru 4 weeks ago2 Mins Read
Event

Promosi Sawit Sehat Dan Lomba Kreasi Makanan Sehat UKMK Serta Masyarakat

Event 2 days ago1 Min Read
Latest Post

Jaga Ketersedian Pangan Jelang Ramadan

14 hours ago

Strategi Meraih Produktivitas Pertanian Berkelanjutan

15 hours ago

Anak Petani Sawit: KLHK Jangan Sewenang-Wenang dalam Urusan Kawasan Hutan

15 hours ago

BPDPKS Promosi Kebaikan Sawit Kepada UKMK Solo

16 hours ago

Masyarakat Riau Didorong Bijak Dalam Berbelanja

17 hours ago
WhatsApp Telegram Facebook Instagram Twitter
© 2023 Development by Majalah Sawit Indonesia Development Tim.

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.

Go to mobile version