Berbagai kalangan meminta pemerintah segera mengevaluasi moratorium pemanfaatan lahan gambut yang telah berjalan selama satu tahun. Aturan ini tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) No.10/2011 mengenai Penundaan Penggunaan Lahan Hutan dan Gambut. Dan jika dampaknya tidak signifikan bagi Indonesia, maka pemerintah sebaiknya menghentikan program tersebut.
Petrus Gunarso, Direktur Program Tropenbos International untuk Indonesia dalam Diskusi Gambut mengatakan, pemerintah harus mengevaluasi moratorium pemanfaatan lahan gambut yang sudah hampir dua tahun berjalan. Dengan evaluasi tersebut, pemerintah bisa mengetahui persoalannya, termasuk apakah hibah yang Pemerintah Norwegia janjikan sudah terpenuhi.
Seperti diketahui sejak 2011 lalu Pemerintah Indonesia mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No.10/2011 mengenai Penundaan Penggunaan Lahan Hutan dan Gambut. Inpres ini merupakan tindak lanjut Nota Kesepahaman dengan Pemerintah Norwegia.
Dari hasil kajian Tropenbos, luas lahan gambut di Indonesia mencapai 20,96 juta hektare. Di Sumatera, dari total luas lahan sawit sebesar 4,74 juta hektare yang berada di lahan gambut hanya 1,39 juta hektare. Di Pulau Kalimantan dari 2,89 juta hektare hanya 307.514 ha perkebunan sawit yang berada di lahan gambut. Begitu juga di Papua hanya 1.727 ha dari total 85.349 ha perkebunan sawit yang ada di lahan gambut.
“Yang menjadi pertanyaan moratorium ini untuk kepentingan dunia atau Indonesia. Sampai kapan ini berjalan, lalu apakah Indonesia Indonesia sudah memperoleh kompensasi?” kata dia.
Supiandi Sabiham, Guru Besar Ilmu Tanah Institut Pertanian Bogor menegaskan, moratorium gambut untuk usaha perkebunan sebaiknya cukup dua tahun saja karena Indonesia sudah berkomitmen dengan Norwegia. Selanjutnya, Indonesia tidak perlu meneruskan kebijakan tersebut karena lebih banyak mudharatnya ketimbang kebaikannya. Bahkan hingga kini perkebunan sawit yang berada di lahan gambut ternyata produktivitasnya tetap baik.
Berdasarkan perhitungan, biaya pemanfaatan lahan gambut untuk kelapa sawit hanya Rp 5.656.531 per hektare, sementara keuntungan yang diperoleh mencapai Rp 15.076.938 per hektare. Selain itu, kata Supiandi, kelapa sawit mampu mampu menyerap CO2 yang berasal dari emisi C untuk pembentukan biomass tanaman. “Sementara dari sisi produksi tandan buah segar (TBS) sawit yang dicapai berkisar antara 18 – 20 ton hektare per tahun untuk tanaman berumur 10-15 tahun,” tambahnya.
Luas lahan gambut yang sesuai dengan persyaratan teknis untuk sektor pertanian sekitar 9 juta hektare dari luas lahan gambut keseluruhan sekitar 15 juta hektare. “Sementara yang sudah dibuka dan dikembangkan baru sekitar 0,5 juta hektare untuk pertanian tanaman pangan dan 1,2 juta hektare untuk
perkebunan kelapa sawit,” papar Supiandi.
Hal senada dikatakan oleh Winarna, Peneliti Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), menjelaskan potensi kelapa sawit pada berbagai tipe gambut cukup tinggi, walaupun variasi produksi cukup lebar, 12 – 27 ton TBS per hektare per tahun. Sedangkan rata-rata rendemen minyak berkisar 21-23% (2% lebih rendah dari tanah mineral).
Winarna menambahkan prospek lahan gambut untuk kelapa sawit ke depan akan makin banyak pembangunan kelapa sawit di areal tersebut lantaran tanaman kelapa sawit toleran terhadap sifat-sifat gambut.
Diperkirakan hingga tahun 2010 sekitar 20 juta ha lahan gambut di Indonesia yang tersebar utamanya di Sumatera dan Kalimantan sudah diusahakan untuk budidaya kelapa sawit mencapai sekitar 700 – 800 ribu ha dari total luas kelapa sawit Indonesia 7,8 juta ha. “Dimana luasan pengembangan kelapa sawi terbesar ada di wilayah Sumatera,” ujar Winarna.
Sehingga keputusan moratorium yang pemerintah ambil berdasarkan akumulasi data dari metode penelitian yang berbeda-beda. Akibatnya emisi karbon yang dihasilkan dari perkebunan sawit menjadi sangat besar. Padahal lahan gambut tidak sepenuhnya sebagai sumber utama emisi karbon dari hasil proses dekomposisi bahan organik.
Diakui, pro kontra pemanfaatan lahan gambut telah berlangsung lama yakni sejak pencanangan Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S) tahun 1969. Perbedaan cara pandang terhadap lahan gambut ini menjadi lebih berkembang setelah ada tuduhan bahwa lahan gambut telah menjadi salah satu sumber emisi karbon terbesar di Indonesia.
Pihak penentang menyatakan pemanfaatan lahan gambut mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan (dari emisi karbon) lebih besar dari positifnya untuk masyarakat. Pendapat mereka didasarkan pada simpanan karbon dalam lahan gambut sangat besar, yaitu berada pada kisaran 200-300 ton carbon/ha.
Sementara laporan lainnya menyimpulkan kehilangan karbon rata-rata dalam 25 tahun terakhir sebagai akibat pembukaan lahan gambut untuk pertanian dengan cara didrainase sekitar 100 ton/ha/tahun. Argumentasi penghitungan kehilangan karbon berdasarkan dari hasil pengukuran subsiden lahan gambut yang dianggap sebagai kehilangan karbon organik. “Perhitungan emisi ini terlalu dibesar-besar. Karena itu, mereka menuntut pemanfaatan lahan gambut di Indonesia untuk pertanian harus dihentikan.” tukasnya. (bebe)