JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Ketua Dewan Pembina DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Jend TNI (Purn) Moeldoko menyayangkan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) masih jauh dari target pemerintah yakni hanya 280.620 hektar (ha) atau hanya 56 persen dari target tahap 1 seluas 500.000 ha. Padahal, menurutnya, kunci meningkatkan produktivitas sawit sawit rakyat hanya dengan PSR/replanting.
“Yang menjadi perhatian serius pemerintah pada tiga tahun terakhir adalah peningkatan produktivitas perkebunan sawit rakyat. Namun sangat disayangkan dari laporan BPDPKS, capaian PSR sampai dengan pertengahan tahun ini baru mencapai 280.620 ha atau hanya 56% dari target di tahap I seluas 500.000 hektar,” ujar Moeldoko dalam acara dialog CNBC bertajuk “Menata Masa Depan Kelapa Sawit Indonesia”, Kamis (16/11/2023).
Diketahui bahwa dari luas perkebunan sawit Indonesia 16.381/957 hektar, 42% nya (6,87 juta ha) adalah dikelola petani. Rata-rata produksi TBS petani adalah berkisar 600-1.200 kg TBS/ha/bulan dengan rendemen CPO 2,8-3,4 ton CPO/ha/tahun, sedangkan korporasi rerata 4,2-4,5 ton CPO per ha per tahun.
“Produksi ini jauh dibawah yang seharusnya, sehingga satu-satunya cara meningkatkan produksi TBS Petani sawit adalah hanya dengan PSR. Diketahui bahwa tanaman yang sudah masuk tahap peremajaan karena sudah tidak produktif (Tanaman Tua Tidak Produktif) seluas 3,6 juta ha (22,22%),” jelas Moeldoko.
Sejak 2017-2023 capaian target PSR tiap tahunnya 180 ha dari tahun ke tahun semakin menurun dan puncak rendahnya capaian PSR tersebut adalah tahun 2022 yang hanya 9,8% dari target 180.000 hektar.
“Kendala utamanya menurut catatan kami adalah pertama persyaratan PSR yang terlampau panjang dan berbelit, kedua perkebunan sawit rakyat yang terjebab dalam kawaan hutan, ketiga adalah berubah-rubahnya regulasi yang mengatur PSR ini,” ucapnya.
“Target Produksi 100 juta ton CPO per tahun di tahun 2045 hanya bisa dicapai jika perkebunan sawit rakyat khususnya segera di replanting,” sambung Moeldoko.
Menurut dia, produktivitas sawit rakyat tersebut akhirnya berdampak belum optimalisasi dalam hilirisasi industri berbasis kelapa sawit Indonesia. Moeldoko menuturkan hilirisasi industri berbasis kelapa sawit di RI masih di level medium untuk refined oil (minyak olahan). Sementara, beberapa hilirisasi lanjutan seperti biodiesel masih terbatas apalagi yang berkaitan dengan oleochemical.
“Untuk dapat mengembangkan potensi industri sawit ke depan, ada 3 tantangan yang harus kita jawab bersama,” kata Moeldoko.
“Pertama, masih rendahnya produktivitas sawit rakyat. Kedua, berkaitan dengan status lahan sawit karena petani masih banyak yang masuk kawasan hutan. Ketiga, keberlanjutan usaha. Ketiga hal ini harus jadi atensi kita semua,” tambahnya.
Di sisi lain, imbuh dia, pemerintah melakukan penguatan hilirisasi sawit melalui program mandatory biodiesel yang telah dimulai sejak 2015.
“Mulai dari B15, B20, B30, dan saat ini menuju B35. Ke depannya Indonesia akan menerapkan B40, B50, hingga B100 dengan komposisi biodiesel fame dan green fuel yang merupakan produk hilir tingkat lanjut dari minyak sawit untuk bahan bakar terbarukan,” ujar Moeldoko.
Penulis: Indra Gunawan