Penulis : Dr. Purwadi (Direktur Pusat Sains Kelapa Sawit INSTIPER)
Membangun keberlanjutan sawit menuju Sawit Indonesia 2045 dapat terwujud melalui kemampuan Indonesia untuk membangun daya saing produk, dari produk kompetitor (minyak nabati) dan atau produk-produk substitusinya serta minyak sawit dari negara lain. Daya saing sistem industri harus dipandang sebagai sistem proses industri ‘end to end’, melalui sistem proses yang efisien dengan hasil akhir harga pokok yang kompetitif di pasar global. Dalam membangun daya saing nasional dari satu komoditas dari suatu negara untuk bersaing di pasar global antar negara, maka sangat dipengaruhi oleh dukungan kebijakan dalam dalam eksosistem bisnis “baik bersifat promosi dan atau proteksi”.
Layaknya sistem industri biomasa yang mengandalkan kelimpahan dan kemurahan sumberdaya alam dan manusia, maka setiap masa akan terjadi pergeseran wilayah produksi. Semakin maju perekonomian dan kesejahteraan suatu wilayah atau negara, maka harga sumberdaya lahan dan tenaga kerja akan semakin mahal, dan jika wilayah atau negara masih menggunakan model dan proses bisnis yang tidak berubah maka daya saing akan turun dan akan diambil alih oleh wilayah atau negara dengan sumberdaya lahan dan tenaga kerja murah. Tidak kah kita perlu menyadari, bagaimana perkebunan kelapa sawit telah mulai tumbuh di berbagai wilayah, negera, berbagai belahan bumi?
Perlu disadari bahwa pergeseran ekosistem bisnis perkebunan kelapa sawit beserta industrinya. Daya saing perkebunan berdasarkan sumberdaya melimpah dan murah baik itu sumberdaya lahan maupun sumberdaya tenaga kerja telah usai, saatnya bergeser pada upaya meningkatkan daya saing melalui peningkatan sistem proses yang memanfaatkan teknologi dan sumberdaya trampil. Pada industri hilir perkembangan teknologi telah mengarahkan bahwa semakin banyak industri hilir memanfaatkan dan membutuhkan bahan baku minyak nabati berbasis sawit untuk berbagai produk pangan dan kebutuhan sehari-hari, oleokimia, energi baru terbarukan, biomaterial dan industri berbasis selulosa.
Bagi industri kelapa sawit, maka efisiensi sistem industri diukur melalui daya saingnya “end to end “ produk. Daya saing itu sejatinya dimulai dari keragaan industri biomasa- nya, yaitu daya saing di tingkat “kebun (on farm)”. Ada dua pelaku utama industri biomasa sawit di tingkat perkebunan, yaitu perkebunan besar dan perkebunan rakyat. Namun demikian beberapa pihak perlu kolaborasi dan sinergi dalam subsistem kebun yaitu (a) Industri sarana produksi, (b) Perkebunan (besar dan rakyat), dan (c) Pabrik Kelapa Sawit, (d) Masyarakat sekitar kebun, (e) Pemerintah Daerah. Bagaimanapun ekosistem bisnis yang terkait kebijakan-kebijakan secara langsung maupun secara tidak langsung akan mempengaruhi keragaaan daya saing di tingkat kebun, industri hilir dan perdagangannya. Kolaborasi dalam format kemitraan maupun bentuk kerjasama lainnya dalam membangun sistem yang sinergis menjadi pra-syarat untuk membangun daya saing.
Perkembangan produksi dan produktivitas perkebunan kelapa sawit secara nasional pada beberapa tahun terakhir cenderung stagnan dengan tren menurun. Kondisi ini perlu memperoleh perhatian bersama karena pada akhirnya akan menurunkan daya saing. Ada dua pelaku industri di tingkat perkebunan, yaitu perkebunan rakyat dan perkebunan besar. Kolaborasi dan kerjasama dalam format kemitraan maupun bentuk lain sangat dibutuhkan untuk mengembangkan kerjasama yang sinergis.
Tantangan perkebunan sawit rakyat adalah peningkatan produktivitas dan harga sarana produksi dan harga TBS yang kompetitif dan stabil, dalam ekosistem bisnis saat ini dan kedepan, terkait: pengembangan kapasitas pekebun meliputi: (1) Kepastian dan Penyelesaian Legalitas lahan, (2) Peningkatan akses modal dan sarana dan prasarana, (3) Pengetahuan dan keterampilan petani, (4) Pengembangan kelembagaan, dan (5) Kerjasama strategis dan sinergis, baik format kemitraan maupun format kerjasama lainnya pada bisnis, kemitraan sosial maupun kemitraan dengan pemerintah.
Sedangkan tantangan di perkebunan besar terkait re-enginering kapasitas pengembangan teknologi dan SDM kompeten serta harmonisasi kemitraan sosial dan ketaatan regulasi, meliputi: (1) Legalitas lahan terkait kepastian hukum HGU, (2) Produktivitas yang stagnan. (3) Harga pokok kebun yang terus meningkat, (4) Masalah sosial dengan masyarakat, (5) Kepastian regulasi dan kepatuhan (governance) , dan (6) Isu-isu geopolitik komoditas terkait sustainabiliti dan deforestasi. Sejauhmana kebijakan-kebijakan saat ini berlangsung dan mampu mendorong eksosistem bisnis di perkebunan kelapa sawit?
Bagaimanapun upaya peningkatan produksi untuk membangun efisiensi menjadi kurang efektif jika iklim bisnis dan ekosistem bisnis kurang mendukung. Beberapa pelaku lansung dilapangan merasakan industri sawit saat ini ibarat cerita “angsa bertelur emas” yang jika para pihak kurang peduli, kurang saling mendukung maka industri semakin tertekan dan tidak sustainable.
Tantangan-tantangan diatas harus dapat diselesaikan agar keragaan kebun dapat terus ditingkatkan, baik perkebunan rakyat dan perkebunan besar, industri sawit menjadi “sustainable”, kesejahteraan petani terus meningkat, masyarakat sekitar perkebunan maupun pembangunan wilayah dan nasional terus berkembang. Pemerintah perlu menyiapkan dan mengawal implementasi kebijakan-kebijakan agar tidak terjadi ego sektoral, tidak terkesan” hit and run”, perlu koherensi antar regulasi dan peraturan-peraturan, perlu konssitensi dan pengawalaan hingga implementasi di lapangan.
Kebijakan harus membingkai sebuah ekosistem dan iklim bisnis strategis, sinergis, kebijakan harus mempu mendorong, melindungi, dan merawat keberlanjutan komoditas. Forum Sawit Indonesia (FoSI) 2023 akan mengkaji kebijakan yang telah berlangsung, merumuskan usulan kebijakan baru dalam rangka membangun ekosistem bisnis perkebunan kelapa sawit menuju Sawit Indonesia 2045. FoSI 2023, selanjutnya akan diselenggarakan pada tanggal 23-24 November 2023, dengan tema: MEMBANGUN DAYA SAING PERKEBUNAN KELAPA SAWIT MELALUI EKOSISTEM BISNIS SINERGIS.
Sampai jumpa di Forum Sawit Indonesia (FoSI 2023)
.