JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Baik DPR dan Kementerian Pertanian satu suara untuk membubarkan platform dan kelembagaan Indonesian Palm Oil Pledge (IPOP). Pasalnya, kesepakatan ini yang ditandatangani pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dinilai berpotensi kartel dan merugikan petani kelapa sawit.
Dalam keterangan pers tertulis, Kepala Humas KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) Dendy R. Sutrisna, menjelaskan KPPU akan menyelidiki dugaan kartel yang dilakukan oleh 6 perusahaan sawit besar yang tergabung dalam IPOP. Jika terbukti merugikan banyak pekaku sawit lain, termasuk petani, rekomendasi kami jelas IPOP tidak bisa dilanjutkan.
KPPU berpendapat ada pertentangan antara platform IPOP dan peraturan yang berlaku di Indonesia. Misalnya aturan mengenai HCS (high carbon stock) yang wajib dipenuhi oleh anggota IPOP, sama sekali tidak diatur di dalam UU dan peraturan lain di negara ini. Termasuk di dalam aturan standar wajib keberlanjutan yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil).
Dendy menyebutkan Dalam hal ini, terdapat potensi bahwa kesepakatan IPOP memiliki posisi lebih tinggi kedudukannya dibanding regulasi Pemerintah, padahal IPOP hanya merupakan kesepakatan pelaku usaha.
Atas dasar analisis tersebut, KPPU menyatakan bahwa kesepakatan IPOP berpotensi menjadi sarana kartel yang akan menimbulkan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Oleh karena itu, KPPU menyatakan kesepakatan IPOP tidak dapat diimplementasikan.
Kalangan anggota Komisi IV DPR menegaskan supaya IPOP segera dibubarkan. “Kami dari awal sudah pada sikap bahwa IPOP harus dibubarkan. Dan kami dukung Menteri Pertanian untuk pembubaran IPOP, bagaimana pun caranya,” kata Firman Subagyo, Anggota Komisi IV DPR kepada para wartawan di Gedung DPR, Kamis (14/4).
Firman mengatakan, meski mengaku berdalih membantu pemberdayaan petani, nyatanya IPOP sangat merugikan petani. Jika dalam penilaian ternyata kebun rakyat tidak memenuhi kriteria HCS, maka petani tidak bisa menjual tandan buah segar (sawit) kepada perusahaan yang menjadi mitra para anggota IPOP. “Jadi ini kedok saja untuk menghancurkan industri kelapa sawit nasional,” kata Firman.
Senada dengan Firman, Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian Gamal Nasir kembali menegaskan manajemen IPOP segera bubar dan 6 perusahaan anggota IPOP mencabut dan keluar dari komitmen tersebut. Pemerintah Indonesia sudah memiliki payung hukum terkait sektor perkebunan kelapa sawit, yaitu sertifikasi ISPO, yang merupakan kewajiban bagi semua perkebunan kelapa sawit Indonesia.
“Keputusan KPPU menjadi salah satu dasar kami untuk merumuskan teknis administratif pembubaran IPOP. Dan DPR memberikan dukungan penuh untuk pembubaran ini, jadi tinggal tunggu waktu saja,” kata Gamal.
Apalagi, lanjut dia, Kementerian Pertanian seperti tidak dianggap oleh manajemen IPOP. Bahkan, menurut informasi dari sebuah media lokal, IPOP menggandeng langsung Dinas Pertanian di sebuah daerah di Kalimantan Barat tanpa berkoordinasi dengan Kementan. “Sektor perkebunan kelapa sawit itu wilayah kami, ranah kebijakannya ada di Kementerian Pertanian,” kata Staf Ahli Mentan, Mukti Sardjono, dalam sebuah kesempatan di Bali, beberapa pekan lalu.
Komitmen sawit IPOP awalnya ditandatangani oleh lima perusahaan sawit besar yaitu Wilmar, Golden Agri Resources (Sinar Mas Group), Asian Agri, Cargil, dan Musim Mas. Komitmen ini ditandatangani di sela-sela KTT Perubahan Iklim di New York September tahun 2014, menjelang berakhirnya masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dengan difasilitasi oleh Kadin Indonesia bidang Sustainability,kelima perusahaan tersebut “dipaksa” untuk menandatangani pledge tersebut. Tujuannya, menjawab kritikan negara-negara Barat terhadap pemerintahan SBY, terkait perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang sudah menjadi nomor satu di dunia.
Diduga, operasional manajemen IPOP ini didanai oleh sejumlah perusahaan dari Amerika. Bahkan, pemerintah Norwegia kabarnya juga mengucurkan dana untuk program mematikan sektor kelapa sawit nasional ini. (Qayuum Amri)