Kawasan Industri Dumai menyimpan potensi sebagai kluster industri sawit yang terintegrasi dari hulu sampai hilir. Unggul dari lokasinya yang strategis untuk perdagangan ekspor dan lokal. Tetapi, butuh dukungan infrasruktur dan regulasi pengembangan kawasan industri.
Insting Wilmar Grup sebagai kelompok usah bisnis sawit dan agribisnis terkemuka di dunia, sangatlah tajam dalam melihat arah kebutuhan bisnis di masa depan. Pembangunan kawasan industri sawit di Pelintung, Riau, yang telah berjalan semenjak lima tahun terakhir merupakan bukti begitu kuatnya insting bisnis mereka. Dengan pencapaian sekarang ini, Kawasan Industri Dumai dapat dikatakan sebagai kluster industri sawit pertama di Indonesia yang terintegrasi antara hulu dan hilir.
Tanmin, General Manager Unit Dumai Wilmar Grup, mengatakan pembangunan kawasan industri yang dikelola PT Kawasan Industri Dumai lahir dari kebutuhan perusahaan terhadap aktivitas perdagangan ekspor. Karena sebelumnya perusahaan menggunakan pelabuhan umum yang terdapat di Dumai akan menghadapi kendala infrastruktur yang berakibat kepada masa antri kapal (demurrage).
Di dalam Kawasan Industri Dumai yang seluas 1.000 hektare, telah dilengkapi dengan jetty dermaga, pembangkit listrik, terminal bulking palm oil, tanki, pengolahan air bersih, dan pengolahan limbah. Dengan berdirinya infrastruktur dan sarana lain akan memudahkan kalangan investor untuk membangun pabriknya disana.
Total investasi kawasan industri ini mencapai Rp 7 triliun. Dana ini digunakan mulai dari pembebasan lahan sampai pembangunan fasilitas tadi. Besarnya dana yang dikucurkan tidak terlepas dari keinginan perusahaan untuk menjadi kawasan industri yang berstandar internasional. Sebagai contoh, kata Tanmin, fasilitas jetty mempunyai panjang 600 meter yang bersertifikat International Ship and Port Facility Security (ISPS). Sertifikat ini wajib dimiliki pelabuhan apabila kapal internasional ingin bersandar. “Kalau tidak ada sertifikat ini, kapal dari negara lain punya hak untuk menolak berlabuh di pelabuhan tersebut,” ujarnya.
Kebutuhan tenaga listrik disuplai dari pembangkit listrik tenaga batubara sebesar 40 MW dan pembangkit listrik biomass yang mencapai 10 MW. Menurut Tanmin, pembangkit listrik bertenaga biomass dapat beroperasi yang kebutuhan bahan bakunya dipasok dari cangkang kelapa sawit sebanyak 500 ton per hari. Tak hanya itu, perusahaan telah menyiapkan genset berjumlah 8 unit yang dapat menyuplai listrik 16 MW.
Sebenarnya Riau memiliki dua wilayah yang dicanangkan sebagai kluster industri sawit yang berada di Pelintung dan Kuala Enok. Pada 2010, Kawasan Industri Dumai di Pelintung dicanangkan oleh Hatta Rajasa selaku Menteri Koordinator Perekonomian sebagai kluster industri sawit. Tak hanya itu, kawasan industri lain yang digadang-gadang sebagai kluster adalah Sei Mangkei berada dibawah PTPN III dan Maloy di Kalimantan Timur.
Dedi Mulyadi, Direktur Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri Kementerian Perindustrian, mengakui kawasan industri Dumai telah berkembang pesat dibandingkan kawasan industri sawit lain yang dicanangkan pemerintah. Hal ini tidak terlepas dari paradigma yang dibangunnnya sebagai pelayanan jasa. “Kawasan industri Dumai bisa disebut kluster industri sawit pertama yang telah berkembang di Indonesia,” kata Dedi kepada SAWIT INDONESIA dalam perbincangan di telepon.
Menurutnya, pemerintah telah memberikan dukungan dengan pembangunan jalan raya dari Dumai ke Pelintung. Dana yang dikucurkan mencapai Rp 150 miliar yang berasal dari Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN). Ruas jalan termasuk pula bagian dari pengembangan koridor ekonomi wilayah Sumatera program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).
Dengan kehadiran jalan raya ini, menurut Tanmin, akan membantu lalu lintas transportasi dari dan keluar kawasan industri Dumai. Apalagi jumlah truk yang keluar masuk mencapai 700 kendaraan. Ke depan, kawasan ini sangat cocok untuk dijadikan lahan tempat penerimaan kontainer karena mempunyai lahan potensial 200-400 hektare.
PT Kawasan Industri Dumai sekarang ini sedang mengajukan permohonan ijin 4 jetty baru. Namun, baru satu jetty yang mendapatkan persetujuan. Sehingga akan ada penambahan panjang jetty 720 meter.
Keuntungan memiliki dermaga sendiri, ujar Tanmin, pihaknya dapat bekerja loading barang ke kapal selama 24 jam. Kalaupun terjadi antrian kapal (kongesti) minimal hanya 3 kapal yang menunggu. Kendati demikian, pihaknya tetap bekerjasama dengan Pelindo dalam penyediaan tenaga pemandu kapal.
“Selain itu, kami telah menanamkan investasi untuk pembelian 30 unit dump truck supaya tidak bergantung kepada perusahaan logistik,” ujarnya.
Sampai tahun 2012, luas lahan Kawasan Industri Dumai yang telah terpakai 150 hektare yang digunakan 8 tenant. Mereka adalah PT Wilmar Nabati Indonesia, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, PT Murini Samsam II, PT Sentana Adidaya Pratama, PT Petro Andalan Nusantara, PT Wilmar Chemical Indonesia, PT Ciliandra Perkasa, dan PT Tri Persada Mulia.
Tahun ini, diperkirakan akan bertambah lagi lima tenant baru di Kawasan Industri Dumai. Antara lain PT Bukara yang bergerak di sektor proses edible oil, PT PLN, PT Samator, Sumitomo Grup, dan PT PGN.
Menurut Tanmin, perusahaan seperti Sumitomo akan menghasilkan briket biomass dari cangkang sawit. Kebutuhan cangkang sawit nantinya sebesar 1.000 ton per hari. Sedangkan, PLN akan membangun pembangkit listrik tenaga uap yang berkekuatan 2×150 MW.
Beberapa waktu lalu, Endang Gumbira Said, Guru Besar Institut Pertanian Bogor, menjelaskan dukungan infrastruktur dan fasilitas pendukung menjadi syarat utama kluster industri sawit dapat berjalan. Selama ini kendala tidak terwujudnya kluster industri sawit akibat belum adanya akses jalan raya, pelabuhan, tanki CPO, pembangkit listrik, dan pengolahan limbah.
Khairul Anwar, Walikota Dumai, mengatakan pengembangan kluster dan industri hilir kelapa sawit di kota Dumai, sangatlah sesuai dan didukung letak geografis wilayah tersebut. Dengan berada di dekat Selat Malaka dan Singapura, Dumai sangatlah cocok untuk dijadikan kota perdagangan dan industri.
LUAS LAHAN
Dengan potensi yang dimilikinya, Kawasan Industri Dumai tetap kesulitan dalam mengembangkan lahannya akibat terganjal peraturan pemerintah. Dalam Peraturan Menteri Negara (Permen Negara Agraria)/Kepala BPN No 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi, disebutkan dalam pasal empat bahwa pengembangan kawasan industri oleh satu grup perusahaan maksimal 400 hektare dalam wilayah satu provinsi dan 4.000 hektare untuk di seluruh Indonesia.
Tanmin mengakui regulasi ini akan mempersulit pengembangan kawasan industri Dumai kalau hanya diperbolehkan 400 hektare. Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah berupaya merevisi aturan ini supaya kawasan industri Dumai dapat berkembang dengan baik.
Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif GIMNI, mengatakan kalau kawasan industri yang dikelola swasta dibatasi seluas 400 hektare, ibarat seperti warung saja. Padahal, kawasan industri itu idealnya harus seperti supermarket besar. “Masalah ini perlu menjadi catatan untuk dapat diperbaiki pemerintah,” katanya.
Dedi Mulyadi, Direktur Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri Kementerian Perindustrian, mengakui kalau dilakukan pembatasan lahan tersebut sudah tidak relevan karena idealnya kawasan industri itu mencapai 1.000 hektare.
Pihak kementerian melalui MS Hidayat, Menteri Perindustrian, telah melakukan diskusi dengan Hendarman Supandji selaku Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk merubah aturan tersebut. Dedi Mulyadi sempat berkomunikasi dengan staf ahli kepala BPN untuk menanyakan sejauh mana proses usulan ini. Dari pihak BPN menjawab masih dalam pembahasan.
Tanmin mengharapkan hambatan ini dapat segera diatasi karena dalam beberapa tahun mendatang jumlah tenant akan semakin bertambah. Harapannya, tenant baru akan berasal dari industri penunjang kelapa sawit seperti suku cadang dan agrokimia. (Qayuum Amri)