Kerja keras produsen sawit yang mengantongi Certified Sustainable Palm Oil (CSPO) belum dihargai. Pembelian CSPO masih sedikit diserap kalangan manufaktur dan retailer. Hal ini menjadikan harga premium masih di awang-awang. Kredibilitas RSPO sebagai lembaga dipertaruhkan.
Laporan Palm Oil Scorecard World Wild Fund (WWF) pada 2013 menunjukkan penyerapan minyak sawit bersertifikat masih jauh tertinggal dari produksinya. Hal ini menunjukkan lemahnya komitmen dari perusahaan anggota RSPO seperti manufaktur, trader, dan retailer. Adam Harrison, WWF Palm Oil Lead, mengatakan untuk pertama kalinya survei WWF ditujukan pula kepada perusahaan Amerika, sebagian besar Uni Eropa, Australia, dan Asia. Survei scorecard dilakukan kepada 130 perusahaan dari berbagai sektor.
WWF mencatat 45 dari 130 perusahaan telah menggunakan 100% CSPO, dimana total penyerapan CSPO sudah sekitar 2 juta ton untuk satu tahun. Kalau dilihat dari permintaan CSPO yang sebesar 7 juta ton per tahun, artinya masih jauh dari harapan.
“ Sementara ini, kami melaporkan sudah ada kemajuan oleh banyak perusahaan. Benar bahwa permintaan untuk minyak sawit lestari bersertifikat tertinggal signifikan dari jumlah pasokannya. Lewat palm oil scorecard, kita dapat melihat perusahaan mana yang tidak melakukan perubahan,” ujar Adam Harrison dalam rilis yang diterima SAWIT INDONESIA.
Dalam laporan palm oil scorecard WWF telah disurvei 52 perusahaan retailer. Dari jumlah kebutuhan CPO 475.335 ton di sektor ini pada kenyataannya pemakaian CSPO mencapai 52% atau sekitar 247.898 ton. Di tahun ini, baru 36 perusahaan dari 52 perusahaan retailer menyatakan komitmennya untuk pemakaian CSPO hingga 100% pada 2015. Dua perusahaan yaitu IKEA dan REWE Group menempati skor tertinggi yang telah mencapai penggunaan CSPO sebanyak 100%.
Untuk sektor manufaktur/trader, WWF mensurvei 78 perusahaan yang memiliki kebutuhan 6,4 juta ton CPO. Empat perusahaan menempati ranking teratas yaitu Unilever, Ferrero Trading, United Biscuit, dan Ecover. Dengan pertimbangan, keempat perusahaan bukan hanya berkomitmen membeli CSPO melainkan sudah memenuhi kriteria perubahan iklim dalam rantai suplai minyak sawitnya. Total penggunaan CSPO di sektor manufaktur, processor/trader mencapai 48% atau 3,09 juta ton.
Minimnya penyerapan CSPO ini berdampak kepada rendahnya harga premium yang diperoleh kalangan pekebun atau growers. Dari data Greenpalm, penyedia jasa pembelian CSPO dengan model book and claim, harga premium yang didapatkan pembeli baru sekitar US$ 2 per ton. Nilai ini jelas tidak sebanding dengan biaya audit yang mencapai rata-rata US$ 25 per hektare.
Beberapa waktu lalu, Ida Bagus Mayun, Coordinator Sustainability PT Sarana Inti Pratama, mengakui biaya sertifikasi yang ditanggung perusahaan sangatlah tinggi karena mesti mengikuti RSPO, dan sekarang wajib audit ISPO. Biaya ini dapat meliputi audit, surveillance, dan termasuk keanggotaan. “Total tiap tahun anggaran buat sertifikasi saja dapat mencapai lebih Rp 200 juta,” ujar Ida Bagus Mayun.
Togar Sitanggang, Manager Senior Musim Mas Grup, mengakui harga CSPO ini tetap dihargai sama dengan harga CPO yang belum bersertifikat. “Mestinya, perlu dipertanyakan komitmen pembeli untuk memberikan harga premium,” keluh Togar.
Untuk mendukung market CSPO oleh supply chain, RSPO juga memiliki trademark yang berguna untuk tracking dari mana CSPO tersebut berasal. Model trademark ini ditempelkan pada produk akhir yang dikonsumsi pembeli. Trademark tersebut disempurnakan dengan mekanisme e-trade yang berguna bagi pembeli untuk melacak dari pabrik dan perkebunan mana CSPO tersebut diproduksi. Tercatat, sudah ada 129 perusahaan yang telah memiliki trademark RSPO, dan lima diantaranya berasal dari Indonesia.
Edi Suhardi, Vice President II RSPO menambahkan pasar CSPO akan semakin terbuka lebar khususnya dengan adanya kewajiban impor CSPO di Uni Eropa. Sudah ada lima negara di Uni Eropa yang berkomitmen menggunakan produk CSPO pada 2015. Antara lain Belanda, Jerman, Inggris, Belgia, dan Prancis sebagai pasar potensial penyerapan CSPO yang akan digunakan bagi industri biofuel.
Tetapi, pasar Eropa secara keseluruhan diperkirakan belum mampu menyerap produk CSPO secara massif. Kontribusi Uni Eropa diperkirakan berkontribusi 12%-13 % konsumsi dari total konsumsi CPO dunia. Sementara Amerika dan Australia juga masih relatif kecil mengkonsumsi CPO.
“Walaupun digabungkan ketiga benua tadi Eropa, Amerika, dan Australia belum bisa menyerap 100% dari total CPO yang dihasilkan produsen. Oleh karena itu, pasar India, Indonesia, dan Cina juga pasar yang potensial dan penting untuk diadvokasi mengenai minyak sawit yang berkelanjutan ini,” imbuh Desi.
KREDIBILITAS DIGUGAT
Dalam RT11 yang digelar tahun ini, isu keluarnya Malaysian Palm Oil Association (MPOA) dari keanggotaan Roundtable and Sustainable Palm Oil (RSPO) kembali mencuat. Meskipun, wacana ini bukanlah hal baru tetapi sikap resmi MPOA tak kunjung terlihat.
Ketua Eksekutif MPOA Makhdzir Mardan menyatakan ada proses untuk keluar dari RSPO tetapi ini sifatnya harus inklusif dan dibuat konsensus. Ke depan, pihaknya tidak ingin menggantungkan masa depan kepada pihak lain. Oleh karena itu, MPOA berencana meluncurkan Malaysia Sustainable Palm Oil (MSPO). Nantinya, prinsip sawit berkelanjuta ini akan dijadikan cikal bakal ASEAN sustainable palm oil yang beranggotakan negara produsen minyak sawit, seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Myanmar.
Bungaran Saragih, Penasehat RSPO mengungkapkan rencana keluarnya MPOA dari RSPO tidak akan punya pengaruh besar karena mereka sendiri yang akan merugi, akibat hilangnya Uni pasar Eropa. Pasar Eropa diakui sangatlah ketat tetapi mereka termasuk konsumen yang teratur.
“Saat ini, Eropa termasuk pasar minyak sawit utama di dunia bersama dengan Cina. Bisa dikatakan, produsen sawit akan bergantung kepada Uni Eropa,” katanya.
Asmar Arsyad, Sekjen Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia, menyayangkan kredibilitas RSPO yang telah diragukan akibat hengkangnya asosiasi sawit Indonesia yaitu Gapki. Apalagi ditambah dengan rencana dari MPOA yang akan mundur dari RSPO juga. Keluarnya MPOA dari RSPO tidak mengherankan lantaran janji yang tidak terpenuhi seperti belum adanya harga premium minyak sawit. Di sisi lain, butuh biaya besar untuk memperoleh sertifikat RSPO. (Anggar Septiadi/Qayuum)