Namun, usulan untuk tidak memanaskan minyak inti di negara-negara beriklim hangat tidak begitu saja diterima. Saya harus membuat uraian tertulis dan diajukan secara resmi atas nama delegasi RI. Persoalan ini mengundang perdebatan. Saya melihat hal ini terjadi karena kesalahan presepsi. Selain melalui perdebatan yang panjang, akhirnya dicapak kesepakatan bahwa bagi negara-negara beriklim hangat seperti Indonesia negara ASEAN lainnya, minyak inti sawit tidak perlu dipanaskan sebelum dikapalkan karena suhu dinilai sama dengan suhu kamar. Setelah komite minyak nabati bersidang di London, utusan tersebut dibawa ke Roma untuk dikemukakan dalam sidang pleno yang dilangsungkan pada 4-9 Juli 2005.
Di Roma terjadi kembali perdebatan. Buat saya, sidang Codex kali ini merupakan pamungkas karena tidak lama lagi saya akan mengakhiri masa jabatan ketua dalam kepengurusan GAPKI. Saya pun berangkat mengikuti sidang tersebut. Usulan mengenai tidak perlunya pemanasan minyak inti sawit dinegara tropis ternyata mendapatkan dukungan. Suara Indonesia mendapat dukungan. Selaigus, delegasi Jerman juga mengusulkan agar untuk minyak kanola diberikan catatan kaki. Setelah melewati perdebatan yang alot, akhirnya usulan yang saya lontorkan dapat diterima dan dimasukan sebagai peraturan tambahan yang disebutkan didalam catatan kaki peraturan Codex mengenai pemanasan minyak inti sawit. Jadi, peraturan itu disesuaikan berdasarkan iklim dinegara masing-masing.
Dalam peraturan baru ini diberikan catatan kaki yang menyatakan, untuk wilayah beriklim hangat, minyak inti sawit dapat dipompa pada suhu ruang atau 30 dan 39oC. Catatan yang sama berlaku juga untuk minyak kelapa sehingga delegasi Filipina juga ikut merasa gembira.
Sumber : Derom Bangun