Yogyakarta, SAWIT INDONESIA – Dua kebijakan yang diterbitkan pemerintah yaitu Instruksi Presiden (Inpres) No 6 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN KSB) dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia menjadi kebijakan utama dalam mendorong pengembangan ekosistem bisnis sinergis kelapa sawit.
Hal itu, disampaikan Asisten Deputi Pengembangan Agribisnis, Kementerian Koordinator Perekonomian, Mochammad Edy Yusuf, saat menjadi salah satu pembicara di Forum Sawit Indonesia (FoSI) 2023, pada Jum’at (24 November 2023), di Grha Instiper Yogyakarta
Dikatakan Edy, kalau bicara industri sawit harus dari hulu hingga hilir, karena sawit sebagai backbone perekonomian Indonesia yang memberi manfaat ekonomi Indonesia dan dunia. Untuk itu harus terus didukung dengan kebijakan untuk mendorong pengembangan ekosistem bisnis sinergis kelapa sawit.
“Kebijakan apapun yang dikeluarkan pemerintah terkait dengan sawit tujuannya untuk kesejahteraan,” katanya.
Dengan berkembangnya sektor industri kelapa sawit terdapat sekitar 16,2 juta Tenaga Kerja Langsung dan Tidak Langsung dalam kegiatan pengelolaan kelapa sawit Indonesia. Dan, dari sektor ini mampu menghasilkan nilai ekspor produk kelapa sawit Indonesia di tahun 2022, mencapai USD 29,63 Miliar atau 10,2% dari total ekspor Indonesia. Pada periode 2012 – 2022, total ekspor kelapa sawit mengalami kenaikan sebesar 60,51%.
Selanjutnya, Edy mengungkapkan kebijakan RAN KSB sebagai dasar untuk keberlanjutan kelapa sawit Indonesia. Terdapat manfaat antara lain sebagai peta jalan yang komprehensif menuju pengelolaan kelapa sawit yang berkelanjutan. Selain itu, referensi dan pedoman bagi Pemerintah Pusat dan Daerah, sektor bisnis, CSO, dan mitra pembangunan lainnya dalam mendukung pengelolaan kelapa sawit berkelanjutan selama tahun 2019 – 2024.
“Dan, RAN KSB disusun oleh berbagai pemangku kepentingan mulai dari perwakilan Pemerintah, Asosiasi Kelapa Sawit, CSO, Pelaku Usaha, sampai dengan Pekebun Kelapa Sawit,” ungkapnya.
“Dalam RAN KSB terdapat komponen utama di antaranya penguatan data, penguatan koordinasi, dan infrastruktur; peningkatan kapasitas dan kapabilitas pekebun, pengelolaan dan pemantauan lingkungan, tata kelola dan penanganan sengketa, dan dukungan percepatan pelaksanaan sertifikasi ISPO dan akses pasar produk kelapa sawit,” imbuh Edy.
Kebijakan RAN KSB juga diturunkan ke daerah menjadi Rencana Aksi Daerah Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAD KSB). Saat ini, sudah ada 8 RAD KSB Provinsi, dan 15 RAD KSB Kabupaten sentra sawit.
“Kebijakan RAD KSB juga menjadi penentu Dana Bagi Hasil (DBH) sawit yang akan dibagikan pada 2024 mendatang,” kata Edy.
Selain kebijakan RAN KSB, pemerintah menyebutkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia atau dikenal dengan Indonesian Palm Oil Sustainable (ISPO) juga peraturan yang mendorong ekosistem bisnis sinergis kelapa sawit.
“Kebijakan ISPO untuk keberterimaan sawit di pasar global. Ini perlu ada yang diwujudkan dengan sertifikasi ISPO yang bersifat mandatory. Sementara, para pelaku usaha juga ada yang mendapat sertifikasi RSPO yang sifatnya voluntary (sukarela),” ucap Edy.
Namun demikian, kata Edy kebijakan ISPO dinilai kurang lengkap dari aspek capaiannya karena hanya untuk sisi hulunya saja.
“Kami menyampaikan konteks keberterimaan tidak hanya dari sisi hulu saja tetapi sisi hilir. Maka terkait dengan hal ini, ISPO terkait dengan kelapa sawit Indonesia, pemerintah sudah merencanakan revisi kebijakan ISPO, tentang sertifikasi ISPO,” ungkap Edy.
Pemerintah mengalokasikan DBH sawit sebesar Rp 3,4 triliun ini didapat dari total alokasi DBH pada APBN 2023, yakni Rp 136,25 triliun. Besaran DBH sawit itu didapat sesuai hasil rapat kerja Badan anggaran DPR RI dengan pemerintah pada saat pembahasan APBN 2023.
Penulis: Robi Fitrianto