JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Kementerian Perekonomian RI mengkampanyekan informasi positif kelapa sawit di sela-sela hari terakhir rangkaian Pertemuan Tahunan World Economic Forum (WEF) Davos, Kamis 23 Januari 2020. Kampanye ini diungkapkan Airlangga Hartarto dalam sesi pertemuan yang mengusung topik Collective Action for Forest Positive Future dan diselenggarakan oleh organisasi Tropical Forest Alliance (TFA).
Sesi ini bertujuan untuk mendorong terciptanya pemahaman yang sama terkait masa depan hutan tropis dunia. “Sebagai produsen minyak kelapa sawit terbesar, Indonesia memanfaatkan forum ini untuk memberikan penjelasan yang utuh mengenai penanganan komoditas kelapa sawit serta menyampaikan berbagai program Pemerintah untuk mengatasi deforestasi,” terang Airlangga dalam laman Kementerian Perekonomian RI.
Menko Airlangga mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk melihat industri sawit secara holistik, termasuk dari aspek lingkungan, ekonomi, kontribusi terhadap pembangunan global – terutama untuk pencapaian SDGs – perspektif bisnis, serta kebijakan yang telah diambil Pemerintah Indonesia.
“Indonesia merupakan produsen minyak sawit utama dunia. Komoditas ini berkontribusi terhadap 3,5% PDB nasional. Dengan memanfaatkan tidak lebih dari 10% (sekitar 6%-7%) dari total global land bank for vegetable oil, Indonesia mampu menghasilkan 40% dari total minyak nabati dunia,” ujar Menko Perekonomian.
Para peserta yang hadir, termasuk mantan Wapres AS Al Gore menyampaikan apresiasi dan dukungan kepada Pemerintah Indonesia yang telah berhasil menekan angka deforestasi secara signifikan selama beberapa tahun terakhir.
Airlangga juga menambahkan bahwa sektor minyak sawit nasional telah berkontribusi mengentaskan kemiskinan bagi 10 juta orang. Dengan kata lain, industri kelapa sawit merupakan sektor strategis bagi perekonomian masyarakat yang perlu dikawal oleh Pemerintah.
Menko Airlangga menyampaikan, Pemerintah Indonesia saat ini tengah mengembangkan kebijakan yang mendorong domestic demand dari produk sawit, antara lain melalui pengembangan B30 sebagai salah satu alternatif BBM untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar berbasis fossil. Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya Pemerintah dalam mengurangi emisi karbon dan mengimplementasikan pembangunan rendah karbon.
“Indonesia juga sedang mengembangkan skema kredit karbon guna mendukung upaya pelestarian lingkungan”, kata Menko Airlangga.
Sebagaimana diketahui, Indonesia memiliki luas perkebunan kelapa sawit sekitar 14 juta hektar yang dapat menyerap sekitar 2,2 miliar ton karbon dioksida (CO2) dari udara setiap tahun. Menko Airlangga mengakui bahwa tantangan utama terletak pada upaya mengonversikan carbon footprint ke dalam suatu skema bisnis yang bermanfaat bagi masyarakat. Untuk itu, Indonesia mengajak para peserta yang hadir, khususnya dari kalangan bisnis, untuk mulai berinvestasi di sektor karbon.
Bagi Indonesia, investasi lingkungan, terutama menyangkut reforestasi, tidak harus dibatasi hanya dalam konteks replanting. Namun perlu diperluas hingga mencakup aspek monetization dari emisi karbon yang dapat diserap oleh perkebunan sawit. Oleh karenanya, Indonesia mengusulkan agar para stakeholders yang hadir bisa ikut memikirkan mekanisme/skema penerapan carbon credit yang tepat dalam merealisasikan potensi Indonesia sebagai the capital of carbon credit.
Terkait pencapaian SDGs, Menko Airlangga mengemukakan peranan minyak sawit dalam mencapai target yang telah disepakati secara global, antara lain: sebagai sumber energi bersih dan terbarukan yang mendukung ketahanan energi nasional; penyediaan bahan makanan; penciptaan lapangan kerja, pengentasan kemiskinan; serta pengurangan ketimpangan sosial dan ekonomi
“Presiden Jokowi memiliki komitmen untuk peremajaan (replanting) sebanyak 500 ribu hektar kebun kelapa sawit milik petani. Tujuannya adalah agar masyarakat yang bekerja di sektor ini bisa mendapatkan hasil yang optimal,” ujar Menko Perekonomian.
Sumber foto: Twitter Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto