JAKARTA, SAWIT INDONESIA Pemerintah perlu membuat peta jalan (roadmap) dan persiapan detil sebelum petani diwajibkan memiliki sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dalam lima tahun mendatang. Persoalan legalitas dan status kepemilikan lahan menjadi tantangan berat petani.
“Masalah utama petani adalah legalitas lahan dan hal ini merupakan peryaratan utama mendapatkan sertifikasi ISPO karena benturan kerasnya ada disitu. Persoalan legalitas lahan tersebut mencakup seperti lahan sawit pekebun swadaya terindikasi berada di kawasan hutan, belum memiliki legalitas SHM (baru SKT), dan belum ada STD-B. Tantangan lain mewajibkan ISPO Pekebun yaitu tidak terdokumentasinya aspek agronomis kebun petani seperti sertifikat bibit, pencatatan aspek pupuk, belum terbentuknya koperasi dan belum ada Internal Control System (ICS),” kata Gulat Manurung, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO).
Hal ini diungkapkannya dalam Dialog Ngeriung Bicara Sawit (NGEBAS) seri-IV bertemakan “Mandatori ISPO: Petani Mau Dibawa Kemana?”, yang diselenggarakan Majalah SAWIT INDONESIA dan DPP APKASINDO, Rabu (30 Juli 2020). Pembicara yang hadir antara lain Dr. Rosediana Suharto (Direktur Responsible Palm Oil Initiative), Diah Suradiredja ( Senior Advisor KEHATI), Rismansyah Danasaputra (Perwakilan Lembaga Sertifikasi).
Gulat menjelaskan bahwa persoalan inilah yang membuat keterlibatan petani dalam sertifikat ISPO sejak tahun 2015 sangat rendah, saat masih Permentan ISPO 2015 memang belum wajib bagi Petani untuk ISPO, namun di Perpres ISPO 2020 sudah diwajibkan pula.
Merujuk data Komisi ISPO, setelah adanya aturan ISPO ini lima tahun yang lalu , baru 12.270 hektare perkebunan sawit petani bersertifikat ISPO atau 0,21% dari luas total kebun sawit petani 5,807 juta hektare. Itu sebabnya, petani sangat khawatir apabila mandatori (wajib) ISPO menjadi persoalan baru dan sangat serius. Dalam kurun waktu 54 bulan ke depan, ditambahkan Gulat, tanpa sertifikasi ISPO maka TBS petani berpeluang ditolak oleh PKS bersertifikat ISPO dan ini akan memperburuk situasi di saat Pemerintah berhasil di sektor kemandirian energi biodisel.
“Tidak menutup kemungkinan, petani akan tersingkir (removed) dalam rantai pasok sawit Indonesia, lantaran tidak mempunyai sertifikasi ISPO. Kami petani bukan tidak mendukung ISPO tetapi pemerintah dalam hal ini kementerian terkait sebaiknya mencarikan solusi (vaksin) atas hambatan yang dihadapi petani untuk di ISPO kan” jelas Gulat yang juga merupakan Auditor ISPO. Jika 54 bulan kedepan tidak ditemukan “vaksinnya”, maka petani sawit akan terpapar Virus ISPO dengan sendirinya petani akan phase out (tersingkir) dari perkelapasawitan Indonesia, 18 juta manusia akan kehilangan mata pencaharian. Presiden Jokowi tentu tidak menginginkan hal ini terjadi sebab sangat beresiko, jajaran Kementerian terkait harus paduserasi mencarikan vaksin tersebut apalagi dengan sudah terbitnya Inpres No 6 2019 tentang RAN Sawit Berkelanjutan.
Andi Kasruddin Rajamuda, Ketua DPW APKASINDO Sulawesi Barat, mengatakan sudah gerah desakan Regulasi ISPO Wajib bagi Pekebun (Petani). Stop berwacana, bola panas sudah di tangan Kementerian terkait, jangan hanya berwacana bahwa ISPO tujuannya menolong Petani tapi selama ini hanya MONA (meeting only no action) dan NATO (no action talk only.
“Ayo Kementerian terkait paduserasi bekerja untuk menolong petani Sawit, itu tujuan Presiden Jokowi menerbitkan Perpres ISPO. Dalam lima tahun ke depan pra-kondisi Petani Pekebun bukan waktu yang lama, disemua negara yang namanya Petani pasti dilindungi. Kalau memang Petani belum siap ISPO dengan segala persoalannya, mengapa terburu-buru di Wajibkan ISPO di Perpres 44/202. Siapa yang bermain disini, harus diusut apa skenario dan siapa sutradaranya ? tanya Andi dengan tegas.
Rosediana Suharto mengaku heran mengapa petani swadaya dan plasma disamakan dalam ISPO. Karena itu konsep ISPO untuk petani swadaya (smallholder) tidak boleh dimasukkan dalam satu kategori dengan Petani Plasma, itu jauh berbeda. Yang paling dirugikan dalam hal ini adalah pekebun swadaya yang menghadapi tantangan legalitas lahan, itu faktanya, belum lagi persyaratan lainnya.
Ia menjelaskan bahwa sertifikasi ISPO seharusnya mengacu kepada kemampuan dan kepentingan masyarakat Indonesia. Dalam prinsip sustainability untuk mencapai tujuan prosperity agar dipertimbangkan keikutsertaan semua pihak terkait, jangan ditinggalkan mereka yang ada di rantai pasok, ini akan menghilangkan sumber pendapatan mereka.
Dijelaskan Rosediana, penerapan standar ISPO yang baru harus menganut sistem grandfather clause yaitu bagi pemegang sertifikat ISPO tidak harus diulang lagi proses sertifikasinya karena prinsip dasar yang digunakan sama yaitu adalah environment, social and economy.
Sementara itu, Diah Suradiredja sepakat dengan penyusunan peta jalan bagi kesiapan petani sebelum diwajibkan ISPO. Kalau membaca Instruksi Presiden Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan sebenarnya telah memberi peta jalan yang cukup lengkap untuk menuju sawit berkelanjutan. Kelima elemen tersebut yaitu penguatan data, penguatan koordinasi dan infrastruktur; peningkatan kapasitas dan kapabilitas pekebun; pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan; penerapan tata kelola perkebunan dan penanganan sengketa; dan dukungan percepatan pelaksanaan sertifikasi pekebunan kelapa sawit berkelanjutan dan peningkatan akses pasar.
Dikatakan Diah persoalan akses dan dukungan pada penyelesaian kebutuhan aspek legal lahan dan bukti tanda daftar usaha budidaya. Sejatinya, membutuhkan terobosan kebijakan pada sejumlah Kementerian/Lembaga terkait untuk layanan legalitas lahan ini tentang penyelesaian legalitas petani sawit rakyat dalam Inpres No. 8 tahun 2018 tentang moratorium sawit (penundaan ijin dan peningkatan produktivitas).
Dalam inpres tersebut, menurutnya, sangat jelas instruksi presiden kepada Menteri ATR/BPN melakukan percepatan penerbitan hak atas tanah pada lahan lahan perkebunan sawit rakyat, Demikian juga pada Inpres No.2 tahun 2018 tentang Percepatan PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap) ada instruksi pada kemenkeu untuk dukungan kebijakan fiskal bagi masyarakat.
Rismansyah Danasaputra mengusulkan saat pra kondisi mandatori maka petani dapat dibina langsung oleh pemerintah daerah setempat, bermitra dengan PKS dan atau perusahaan perkebunan, dan dibina oleh pihak ketiga. Terkait sumber pendanaan dapat bersumber dari pemerintah (BPDPKS), mitra petani, dan pihak ketiga yang sah.
Harapannya, ISPO ini dapat membantu petani dalam mengatasi ketimpangan harga TBS. Kendati, Kementerian Pertanian sudah menerbitkan Permentan Nomor 01/PERMENTAN/KB.120/1/2018. Tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian Tandan Buah Segar.
Sutiyana, petani sawit asal Kalimantan Tengah, menjelaskan kelompok taninya telah lama mendapatkan sertifikat ISPO. Tetapi faktanya yang kami rasakan, antara perkebunan sawit bersertifikat ISPO dan Petani non ISPO memperoleh harga TBS yang sama dari PKS. Jika ingin petani tertarik ISPO, seharusnya ada insentif harga dan ada kemudahan lainnya.
Heru Tri Widarto, Direktur Tanaman Tahunan Kementerian Pertanian RI, mengatakan pihaknya akan menghimpun berbagai masukan dari petani, pengusaha dan akademisi dalam penyusunan permentan ISPO dan tentunya untuk kebaikan Sawit Indonesia.