Penulis: Dr. Ir. Purwadi,MS*
Pada 3 tahun terakhir tren produktivitas dan produksi perkebunan kelapa sawit sedang stagnan dan sebagian dalam tren menurun. Beberapa pertanyaan yang harus dijawab terkait kondisi ini, : (1) apakah sumberdaya alam sudah mandeg atau mulai degradasi, (2) apakah pemanfaatan teknologi baru berjalan sesuai kebutuhan atau berjalan lambat, (3) apakah semangat dan kreativitas profesional Planters sudah mandeg, (4) sejauh mana riset dan inovasi menjawab tantangan kebutuhan di kebun (5) bagaimana mengelola kemitraan sosial bersama masyarakat sekitar kebun, (6) atau terus menjadikan kondisi iklim sebagai kambing hitam.
Diskusi awal dengan teman-teman di lapangan mengarahkan pada sebuah gambaran bahwa transformasi tatakelola kebun belum sesuai harapan, beberapa hal perlu memperoleh perhatian sebagai berikut:
1. Implementasi teknologi melalui mekanisasi, digitalisasi, otomasi, berjalan lambat, disisi lain tekanan terhadap kenaikan biaya produksi yang terus meningkat, ketersedian pekerja yang semakin terbatas dan juga tatakelola kebun yang sustainable. Kondisi ini barangkali karena, (a) riset dan inovasi yang kurang “match” dan atau tidak terimplementasi, (b) pembiayaan investasi yang dipandang masih belum prioritas, (c) masih meyakini semua tercukupi dilakukan oleh tenaga kerja manusia.
2. Semangat, kreativitas, profesionalisme Planters yang dirasakan kendor, barangkali oleh beberapa hal: (a) Tatakelola kebun dan ketatnya pelaksanaan proses bisnis berbasis SOP dengan target dan capaian jangka pendek membuat kreativitas menurun, (b) transformasi budaya dan profesionalisme planters generasi baby boomer dan gen Y-Z yang tidak lancar.
3. Riset dan Inovasi belum memenuhi kebutuhan saat ini dan mendatang, oleh karena beberapa hal: (a) kurangnya perhatian terhadap kebutuhan inovasi riset sebagai salah satu “driver” pembangunan daya saing, (b) tidak update pelaku perkebunan terhadap perkembangan alat bantu teknologi yang mendukung terlaksananya “best practices”.
4. Model bisnis integrasi antara dua pelaku perkebunan (besar dan rakyat) belum mampu mendorong model bisnis sinergis yang saling menguntungkan.
5. Belum memanfaatkan informasi, prediksi agrometerologi sebagai bahan bahan untuk mitigasi resiko dan menjadikan kondisi iklim sebagai kambing hitam
Manajemen perkebunan kelapa sawit perlu melakukan transformasi pola pikir “shifting” bahwa “manajemen kebun” dilaksanakan layaknya sistem industri, sebagai industri biomasa, sebuah proses produksi dengan pendekatan sistem industri, sebagai pabrik yang menghasilkan biomassa. Sebagai sistem industri, maka semaksimal mungkin faktor-faktor yang mempengaruhi sistem proses harus terkelola, terkontrol “controllable”. Kondisi ini sangat berbeda dengan saat ini, dengan alasan produksi tergantung alam, maka kalau ada kegagalan-kegagalan di justifikasi sebagai resiko dan ketidakpastian karena alam. Iklim cuaca menjadi kambing hitam.
Dahulu belum ada dukungan alat dan teknologi yang mampu membantu memprediksi resiko dan ketidakpasian alam. Saat ini alat dan teknologi sudah mulai tersedia, maka ketidakpastian bisa dirubah menjadi resiko, yang berarti dapat dianalis dan bisa diukur, diprediksi dan pada akhirnya dari “uncontrollable” menjadi “controllable”.
Apakah tata kelola kebun sudah “shifting” kesini? Alat dan teknologi supporting untuk pengukuran-pengukuran perilaku alam sudah tersedia, yang selanjutnya bisa dianalisa untuk kebutuhan”prediksi” dari “uncontrollable” menjadi “controllable”. dan pada akhirnya untuk membuat mitigasi, antisipasi dan penyiapan kondisi, Selanjutnya mekanisasi harus mampu menjadi solusi untuk melakukan tatakelola “best practices”. Mekanisasi sebagai upaya substitusi tenaga kerja dapat dibilang “betul” tapi implementasi mekanisasi, otomasi, robotik, AI tugas utamanya melakukan tatakelola model sistem industri, dimana sebagian besar faktor sudah “controlable”.
Sepertinya saat ini pemikiran “shifting” masih baru dipikirkan dan disadari kebutuhannya oleh beberapa perusahaan perkebunan. Mekanisasi harus dilakukan karena kebutuhan untuk mendukung sistem proses dalam rangka tatakelola kebun berbasis pola pikir, pendekatan sistem industri. Oleh karena itu dalam implementasi mekanisasi, digitalisasi, otomasi harus melalui pendekatan eksosistem dalam sistem proses tatakelola sistem industri. Saat ini memang hal ini baru coba-coba berjalan atau berjalan tapi lambat.
Oleh karena itu kita mengajak para COO, GM Direktur Area, GM untuk melakukan diskusi dan sharing pengalaman untuk mempercepat proses implementasi mekanisasi, digitalisasi, otomasi sebagai upaya untuk meningkatkan tatakelola “kebun” yang berdaya saing. Barangkali kita perlu membuat semacam Kelompok Kerja (Pokja) mekanisasi perkebunan kelapa sawit sebagia embrio awal untuk melakukan kolaborasi dan sharing ide, dan pada saatnya jika dibutuhkan kita bisa membuat Konsorsium Mekanisasi Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia.
Sudah menjadi pemahaman bersama, yang men “drive” daya saing itu produktivitas dan efisiensi dan itu terkait dengan teknologi dan SDM. Kalau tadi kita bicara implementasi teknologi, bagaimana dengan kompetensi dan profesionalisme “Planters”. Saat ini para pemimpin kebun sedang berfikir, sepertinya “planters” saat ini sudah tidak seperti planters dahulu. Kurang ulet, kurang kreatif, kurang tahan terhadap tekanan. Kompetensi dan profesionalisme seperti “mandeg” dan menurun. Bagaimanapun “planters” menjadi subyek dengan peran utama dalam tata kelola kebun. Beberapa orang melihat ini merupakan sebuah kondisi yang barangkali tercipta oleh sistem dan budaya kebun yang selama ini dilakukan. Model manajemen SOP yang kaku, dan pendekatan kepemimpinan yang cenderung kaku, dengan target-target jangka pendek, membuat para “planters” muda tidak memiliki ruang “kreasi”. Kreativitas tidak berkembang dan membangun karier melalui capaian-capaian target jangka pendek. Ingat lho, bisnis kebun itu industri berbasis biomas dalam waktu panjang, dengan cara pikir target-target jangka pendek membuat cara pandang dengan “view” jangka pendek pula.
Kondisi ini juga dihubungkan dengan tumbuhnya generasi baru “milenial”, yang pada beberapa pemikiran dijadikan “kambing hitam” kondisi planter saat ini. Barangkali hal itu tidak tepat, karena generasi milenial itu tumbuh pada jamannya dengan karakter dan budaya yang baru dan berbeda. Mereka memiliki keunggulan-keunggulan melalui pemikiran-pemikiran cepat, kreatifitas dan selalu mencari jalan cepat. Maka yang dibutuhkan saat ini adalah menyambungkan budaya kerja, karakter generasi baby boomer dengan generasi milenial.
Sampai saat ini perlu dicari untuk malakukan transformasi antar generasi berjalan mulus. Dan oleh karena itu para CHRO, Direktur HRM, GM HRM, perlu berkumpul untuk berdiskusi, sharing dalam upaya menyiapkan kader-kader menjadi “Planters Unggul”. Barangkali kita perlu membuat forum-forum diskusi krcil, mislanya pembentukan “Indonesia Palm Oil Planters Club” (IPOPC) sebagai media untuk bertemu dan berdiskusi dan sharing untuk kapitalisasi keragaan dan kompetensi planters.
Dalam rangka FoSI 2023, sebagai agenda pendahulu akan dilakukan diskusi dalam Forum Direktur Perkebunan Kelapa Sawit (FDPKS-2023) yang akan diselenggarakan di INSTIPER tanggal 22 November 2023. Dalam FDPKS-2023 selanjutnya juga akan ada penganugerahan “Palm Oil Smart Planter” sebagai wujud apresiasi dan penghargaan atas profesionalitas bagi Planter-Palnter Unggul pada masanya.
*Direktur Pusat Sains Kelapa Sawit Instiper