JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Ketua Harian Minyak Kelapa Sawit Indonesia Rosediana Soeharto menilai European Union Deforestation-free Regulation (EUDR) atau Regulasi Bebas Deforestasi Uni Eropa memang tidak mengakomodasi kepentingan petani sawit mandiri. Namun, dia juga menyayangkan perdagangan minyak sawit dalam negeri yang berasal dari petani kerap terhambat akibat kebijakan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).
“Kalau bagi saya, legal saja sudah cukup. Mereka [petani swadaya] bisa menerapkan sustainabality sesuai kemampuan mereka. Jadi jangan sustainability terkait sama ISPO. Karena ISPO sendiri menghambat perdagangan lokal. Tidak bersertifikat sampai tahun sekian petani tidak bisa jual ke kebun, ini kan menghambat diri sendiri. Ini kan aneh. Jadi jangan kita ini buat susah sekali sawit,” ujar Rosediana dalam diskusi yang diselenggarakan Indef “CPO: Resetting Indonesia-EU Relations”, Kamis (14/12/2023).
Menurutnya, hambatan terbesar perdagangan sawit sejatinya berasal dari dalam negeri. Dia mencontohkan pada saat harga CPO USD1.700 per metrik ton, pemerintah justru menghambatnya. Akibatnya, ujar Rosediana, banyak pembeli sawit lari ke negara tetangga.
“Kalau harga tinggi kita susah jual. Kalau harga 1700 dolar susah sekali jual. Engga boleh jual. Terus mau dijual berapa. Ditutup sebulan, pembeli kita sudah beli ke Malaysia ke mana mana. Itu yang tidak difikirkan,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Rosediana yang juga mantan Ketua Pelaksana Harian Komisi ISPO itu pun berharap akan adanya komisi atau lembaga agar TBS petani sawit bisa ditampung untuk produksi dalam negeri. Menurutnya, UEDR memang dengan sengaja mengeksluasi petani swadaya dalam rantai pasok.
Padahal, menurut Komisi Brundtland yang memperkenalkan konsep keberlanjutan, petani kecil wajib dibantu negara.
“Mengapa tidak mereka yang tidak legal yang dituduh segala macam itu ditampung untuk produksi kita sendiri. Kita ini 275 juta pasar kita. Lebih besar dari Eropa. Kenapa tidak kita yang pakai sendiri,” pungkasnya.
Penulis: Indra Gunawan