JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Kementerian Perdagangan (Kemendag) memandang Indonesia perlu bersikap kolaboratif terhadap European Union Deforestation-free Regulation (EUDR) atau Regulasi Bebas Deforestasi Uni Eropa agar Indonesia tidak dikategorikan sebagai negara high risk.
Sekadar informasi, EUDR merupakan rancangan regulasi yang dimiliki oleh Uni Eropa yang bertujuan mengenakan kewajiban uji tuntas terhadap 7 komoditas pertanian dan kehutanan, meliputi minyak sawit, kopi, kakao, karet, kedelai, ternak, dan kayu.
Analis Investigasi dan Pengamanan Perdagangan Ahli Utama Kemendag, Pradnyawati mengatakan di level perdagangan internasional sudah ada pergeseran nilai konsumen, dimana saat ini produk-produk harus memenuhi syarat ramah lingungan hingga bebas kekerasan terhadap binatang.
“Mereka itu sangat memperhatikan consumer right bapak ibu, hak konsumen itu nomor satu. Itu dikaitkan oleh mereka karena mereka negara maju persoalan perut sudah teratasi maka ddialihkan mulai ke persoalan sosial, environment dan lain sebagainya. Sehingga mereka menuntut produk kosmetik, makanan misalnya, bebas emisi, bebas kekerasan terhadap binantang dan ramah lingkungan,” ujar Pradnyawati dalam diskusi yang diselenggarakan Indef tema “CPO: Resetting Indonesia-EU Relations”, Kamis (14/12/2023).
Dia mengungkapkan, jika Indonesia menolak secara frontal EUDR tersebut, dalam jangka menengah panjang itu merugikan Indonesia selaku produsen atau pengekspor komoditas seperti sawit, cokelat dan turunannya.
“Jadi menurut saya kita perlu menempuh dari layer pertama ini adalah kolaboratif dulu dengan Eropa. Setelah itu baru lihat lagi,” ucapnya.
Dengan menerima terlebih dahulu EUDR, menurut Pradnyawati akan juga sekaligus memperbaiki tata kelola perkebunan nasional di sawit dan komoditas lainnya. Selain itu, dia menilai penerimaan EUDR dapat memperkuat daya ungkit/leverage kita Indonesia untuk bernegosiasi berikutnya. Dia mengatakan, salah satu yang harus diperjuangkan dalam negosiasi dengan Eropa selanjutnya yakni negara benua biru dapat menerima sertifikat Sustainable Palm Oil (ISPO).
“Kalau kita compliance dengan mereka, kita juga menata di dalam negeri ini. Jadi kalau kita bersertifikat sustainability ada value di mana bisa membuka new maket opportunity ke seluruh dunia bukan hanya 27 negara Eropa. Tapi seluruh dunia, Amerika, UK, Jepang,” pungkas Pradnyawati.