JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Perkembangan sawit rakyat telah mencapai sekitar 45 %, dimana sekitar 93 % diusahakan petani swadaya. Produksi TBS petani tidak bisa dijual langsung untuk konsumsi, harus diolah oleh pabrik CPO, disinilah saling ketergantungan dan sinergi industri mestinya dibangun. Pabrik CPO akan efisien, jika terpenuhi skala produksinya mulai dari mengolah TBS petani yang dari panen buah yang sudah masak, dikirim dalam bentuk segar, dengan varitas dominan tenera, dipanen dengan tangkai dipotong pendek dan tidak bercampur material sampah.
“Itulah input bahan mentah yang dibutuhkan pabrik CPO agar efisien. Pada sisi lain, petani ingin memperoleh harga yang tinggi dari penghitungan yang traansaparan dan adil,dengan penjualan yang mudah, tidak ada biaya dan pungutan-pungutan lain maupun korting timbangan,” ujar Dr. Purwadi, Direktur Pusat Sains Kelapa Sawit Instiper.
Menurutnya hubungan bisnis dalaam sistem industri yang sinergis hingga saat ini belum bisa terwujud. Yang terjadi pada sebagain besar kasus justru masalah yang melingkar saling terkait tidak ada ujung pangkalnya untuk diupayakan diselesaikan. Pada saat awal berkembangnya petani swadaya, tidak bisa dipungkiri bahwa TBS yang dihasilkan petani dengan kualitas yang belum baik, panen yang campur mentah-matang, tangkai dipotong panjang, dikirim tidak segar, dan ada kotoran-kotoran yang tidak sehrusnya ada? Petani juga tidak bisa menjual secara sendiri-sendiri karena jumlahnya yang kecil, maka dijualnya kepada tengkulak yang memiliki kontrak dengan perusahaan.
Yang terjadi selanjutnya adalah perusahaan tidak bersedia memberikan harga yang tinggi, harga yang terjadi lebih rendah dari petani kemitraan plasma PIR, bobotnya dikurangi 2,5%-5 %. Inilah realitas yang terjadi, maka masing-masing memikirkan cara (mensiasati) untuk memperoleh keuntungan dengan caranya sendiri-sendiri, baik itu petani maupun pabrik CPO.
“Sebagian besar petani menilai, kalau mereka panen dg kualitas baik toh tetap saja di potong, dan tidak memperoleh insentif harga dibandingkan yang lain. Mereka juga belum melihat transparansi perhitungan biaya-biaya dalam penetapan harga Maka yang dilakukan adalah panen dengan standar minimal dan memberikan bobot yang bertambah,” ujarnya.
Dengan perilaku petani seperti ini, kata Purwadi, pabrik akan merasa dirugikan maka keputusan potongan-potongan terus dilakukan dan mencurigai petani tidak fair. Sebetulnya kedua-duanya tidak fair, siapa yang mulai tidak perlu diperdebatkan, yang jelas praktek ini sampai saat ini masih berlangsung.
“Perlu diingat bahwa pasar jual-beli TBS adalah monoposoni atau oligopsoni, artinya sangat mungkin terjadinya praktek kartel, yang jelas petani tergantung dan tidak memiliki daya tawar yang setara. Inilah yang terjadi sebagai “lingkaran setan” disharmoni sistem industri sawit berbasis kebun rakyat swadaya,” tegasnya.
Disharmoni sistem industri ini tidak akan menghasilkan efisiensi dan berkelanjutan. Kalau saat ini industri CPO dianggap efisiensi, tentu karena pengorbanan pada satu pihak, dan kalau hal ini terjadi maka industri ini pada saatnya tidak akan berkelanjutan. Apalagi kalau kedua pelaku yaitu petani dan pabrik saling mensiasati karena tidak percayaan, kecurigaan dan tidak memahami pentingnya sinergitas industri, maka yang akan dihasilkan adalah industri yang tidak efisien, yang hasilnya tidak akan berkelanjutan karena daya saingnya yang rendah.
Kondisi demikian, saat ini belum terlalu dirasakan, karena harga CPO yang tinggi dan CPO masih menjadi produk minyak nabati yang paling kompetitif dibandingkan minyak nabati lainnya. Pertanyaanya sampai kapan? Saya kira jika harga CPO sudah kurang kompetitif, misalnya saja dibawah US$ 450/ton, maka disharmoni insdutri ini akan meningkat dan mengarah pada konflik. Harus ada upaya memotong, memecah lingkaran setan permasalahan ada sistem industri sawit berbasis pekebun swadaya ini, jangan sampai menjadi terlambat, tersadar saat sudah “pingsan”. Mumpung pendapatan masih tinggi, ibarat “perut masih bisa kenyang”, jangan menunggu saat harus mengencangkan ikat pinggang.
Purwadi berpandangan bahwa kondisi sudah berubah dimana sudah muncul generasi kedua dengan cara pandang baru, berkebun sawit adalah bisnis dengan “ obyek bisnis” kebun sawit dan dipandang seperti halnya bisnis-bisnis lainya, produktivitas petani mulai meningkat, tanaman petani sudah banyak yang dihasilkan dari bibit unggul dengan pemeliharaan baik, petani paham praktek dan manajemen pengolahan TBS, petani sudah mampu mengakses informasi yang lebih transparan.
Pada sisi lain perusahaan menghadapi tambahan biaya karena isu-isu lingkungan bisnis (sosial, ketenaga kerjaan, politik lokal dan nasional, lingkungan alam). Keterlambatan menyelesaikan lingkaran setan sistem industri ini akan menjadikan industri sawit berbasis sawit kebun rakyat terancam keberlanjutannya.
Bagaimanapun peluang untuk menyelesaikan lingkaran setan tersebut terbuka lebar. Purwadi mengusulkan sekarang tumbuh generasi baru (petani genY), ada kelimpahan teknologi ICT yang mempermudah dan dapat membangun sistem manajemen yang lebih transparan “clean and clear” kelembagaan petani yang semakin kuat dan kredibel, perusahaan/pabrik CPO yang semakin terbuka.
“Saatnya membangun harmoni sistem industri sinergis dengan membangun kemitraan bisnis (strategis), dengan semangat saling membutuhkan, saling memperkuat, saling percaya, dan saling menguntungkan. Dengan semangat membangun industri sawit berkelanjutan, kita pasti bisa,” harap Purwadi penuh optimis.