MEDAN, SAWIT INDONESIA – Pakar Hukum Perhutanan Dr. Sadino mendorong agar masyarakat menggugat apabila terjadi klaim sepihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) atas lahan sawit mereka. Hal itu perlu dilakukan, agar masyarakat bisa mempertahankan hak atas tanahnya yang sudah memiliki hak guna usaha (HGU) atau sertifikat lahan.
“Saya katakan ini problemnya kita, kurang berani atau semangat bersengketa. Padahal kalau tidak semangat bersengketa itu sering diintimidasi. Makanya, mending gugat saja ke PTUN ketika ada klaim KLHK atas lahan bapa/ibu, agar mereka juga capek,” ujar Sadino merespons pertanyaan peserta dalam Indonesian Palm Oil Stakeholders Forum (IPOS Forum) yang diselenggarakan GAPKI Sumut di Medan, Jum’at (27/10/2023).
Dalam IPOS Forum ke-8 itu, salah satu peserta, Osman Sibuea mengeluhkan langkah KLHK/Dinas Kehutanan Sumut yang menandai/mematok lahan sawitnya secara sepihak. Padahal, ujar dia, lahan yang dikelola keluarganya tersebut sudah digarap sejak 1989 dan surat-suratnya pun sudah lengkap.
“itu sudah dikelola sejak 1989 sertifikatnya sudah ada, oleh orang tua kami dan pembagian dari PTPN III, itu sah dan sudah ada sertifikatnya, ada lambang garudanya. [Tapi] Dinas LHK mengejar ngejar kita dan dibilang lahan kita masuk kawasan hutan. Sertifikat kita harus dicek lagi, cek lokasi, cek tempat, harus urus pelepasan kawasan hutan, kata mereka,” ungkap Osman.
“Kita ke BPN, tidak bisa ketemu orang. Gimana, seperti dimain-mainkan? Lalu kita meminta surat permohonan pelepasan kawasan,” sambungnya.
Dikarenakan merasa diping-pong, Osman pun akhirnya ke Kantor KLHK dan akhirnya sertifikatnya diterima.
“Tapi pas disana, sertifikat saya itu hanya dicap doang dan saya disuruh pulang. Kata saya, ini main-main atau apa? Jauh-jauh dari Sumatera ke Jakarta, mengeluarkan banyak biaya, cuma distempel doang sertifikat saya?,” keluh Osman yang juga seorang guru itu.
Merespons hal itu, Sadino mengungkapkan jika hal itu memang kerap dilakukan Dinas Kehutanan/KLHK lantaran data pelepasan hutan yang mereka simpan biasanya hilang. Adapun jika masyarakat punya SHM atau HGU sudah cukup secara hukum memperoleh hak atas tanah tersebut.
“Ketika mereka meminta bapak mengurus surat pelepasan, untuk mengumpulkan saja data di mereka. Mereka lupa bahwa mereka pejabat administratif,” ucap Pengajar Universitas Al-Azhar Jakarta, itu.
Menurutnya, petani atau perusahaan sawit harus mempertanyakan terlebih dahulu jika tanah mereka dikategorikan sebagai lahan kawasan hutan.
“Kita jangan memohon untuk diterbitkan surat pelepasan hutan, biar kiamat gak bakal kelar. Kalau memohon seolah kita salah. Tapi suratnya jika diajukan ke KLHK, minta penjelasan aja dulu ke mereka, ini kawasan hutan mana menurut surat itu? ” tutur Sadino.
Ia menjelaskan, selama pemerintah caranya hanya dengan ‘menunjuk’, seolah telah selesai aktivitas penentuan suatu lahan yang akan menjadi kawasan hutan.
“Pemerintah lupa bahwa menunjuk tanpa dilanjutkan sampai penetapan melalui pengukuhan kawasan hutan adalah bersifat inferatif yang harus dijalankan pemerintah. Mahkamah Konstitusi menyatakan kalau hanya menunjuk terus disebut sebagai kawasan hutan adalah tindakan yang otoriter,” sebut Sadino.Padahal, tanpa ada proses yang lengkap penunjukan, penataan batas, pemetaan dan penetapan, maka pengukuhan kawasan hutan belum selesai. Karena pengukuhan kawasan hutan adalah untuk memberikan kepastian hukum tentang kawasan hutan itu sendiri.
Menurut Sadino, pengukuhan dengan tahapannya merupakan bentuk pelaksanaan administrasi pemerintahan. Jika tidak dijalankan dan telah ada ketentuan hukum lain, maka status menunjuk kawasan hutan posisinya sangat lemah.
“Sehingga pada akhirnya akan menyimpan konflik lahan sebagaimana sering terjadi pada saat ini,” kata Sadino.
Sadino menilai, pelepasan kawasan hutan tentunya atas lahan kawasan hutan yang sudah dikukuhkan, bukan kawasan hutan yang baru dalam proses penunjukan. Seringkali salah difahami seolah Hak Atas Tanah seperti HGU mesti ada pelepasan kawasan hutan. Padahal kalau RTRW Provinsi atau RTRW Kabupaten/Kota bukan kawasan hutan ya tidak diperlukan pelepasan kawasan hutan.
“HGU itu kan produk pemerintah malah tidak diakui, padahal produk tersebut diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku berarti sah menurut hukum. Juga tidak ada pencabutan izin dan dibatalkan oleh pengadilan,” tandasnya.
Penulis: Indra Gunawan