JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memutuskan Indonesian Palm Oil Pledge (IPOP) berpotensi menjadi sarana kartel yang dapat menimbulkan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Oleh karena itu, lembaga ini meminta supaya kesepakatan IPOP sebaiknya tidak diimplementasikan.
Keputusan ini tertuang dalam Surat Keterangan Bernomor 184/K/X/2015 perihal Tanggapan KPPU terhadap Indonesian Palm Oil Pledge (IPOP) tertanggal 22 Oktober 2015. Terbitnya surat ini sebagai jawaban dari Surat yang dikirimkan Ibrahim Senen selaku Konsultan Hukum KADIN bernomor DNC/104-607-615/IX/ 15/431 Perihal Permohonan Kajian dan Analisa, terkait Indonesian Palm Oil Pledge (IPOP).
Muhammad Syarkawi Rauf menjelaskan bahwa KPPU telah melakukan penelitian, pengumpulan data dan informasi serta melakukan diskusi dengan stakeholder industri kelapa sawit Indonesia. Salah satu hasil analisis ini adalah Kesepakatan IPOP hakekatnya adalah kesepakatan antar pelaku usaha tertentu yang memuat aturan mengikat pelaku usaha untuk mengimplementasikannya. Implementasi IPOP akan berdampak terhadap pelaku usaha lain, dalam hal ini perusahaan pemasok tandan buah segar (TBS) yang di antaranya adalah pelaku usaha di luar pelaku usaha yang bersepakat.
IPOP dinilai KPPU berpotensi bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, karena berpotensi mendistorsi pasar. Selain itu, kesepakatan IPOP tersebut tidak sejalan dengan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang merupakan regulasi industri sawit Indonesia.
Hasil analisis lainnya adalah kesepakatan IPOP memiliki posisi lebih tinggi kedudukannya dibanding regulasi pemerintah, padahal IPOP hanya merupakan kesepakatan pelaku usaha. Dan Sampai dengan saat ini, tidak ada dasar hukum bagi implementasi IPOP karena bukan regulasi.
Salah seorang pelaku sawit mengatakan kepada Majalah SAWIT INDONESIA bahwa dirinya sempat bertanya-tanya mengapa surat ini tidak dipublikasikan kepada khalayak umum. Pasalnya, surat ini dapat menjadi rujukan bagi Kementerian Pertanian untuk mengambil putusan umum kepada IPOP dan lembaganya.
Beberapa waktu lalu, Gamal Nasir, Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian, berjanji akan mengambil tindakan tegas kepada IPOP dengan melakukan pembubaran. Namun, dirinya masih mencari rujukan hukum untuk mengambil tindakan tersebut.
Berikut ini salinan KPPU yang kami diterima Redaksi Majalah SAWIT INDONESIA mengenai keputusan IPOP.
Nomor : 184/K/X/2015
Perihal : Tanggapan KPPU terhadap
Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP)
Yth. Ibrahim Senen
Konsultan Hukum KADIN
DNC Advocates at Work
Permata Kuningan, Penthouse Fl.
Jl. Kuningan Mulia Kav. 9C,
Jakarta 12980
Sehubungan dengan Surat Saudara No Ref: DNC/104-607-615/IX/ 15/431 Perihal Permohonan Kajian dan Analisa, terkait Indonesian Palm Oil Pledge (IPOP), KPPU telah melakukan penelitian, pengumpulan data dan inforrnasi serta melakukan diskusi dengan stakeholder industri kelapa sawit Indonesia.
Berdasarkan data dan informasi yang kami peroleh, terkait dengan keberadaan IPOP di Indonesia kami mendapatkan fakta-fakta sebagai berikut :
- IPOP merupakan komitmen dan atau kesepakatan para pelaku industri sawit untuk menjalankan praktik perkebunan sawit yang berkelanjutan di seluruh rantai pasoknya sekaligus meningkatkan daya saing sawit Indonesia di pasar global;
- Dalam industri kelapa sawit Indonesia, Pemerintah sudah membuat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) sebagai kebijakan sertifikasi yang harus dipenuhi setiap perusahaan atau perkebunan sawit yang menjadi standar dalam melaksanakan praktik perkebunan sawit yang berkelanjutan;
- Perbedaan yang signifikan antara kesepakatan IPOP dengan kebijakan Pemerintah (ISPO) adalah penetapan standar kriteria lingkungan yang baik untuk perkebunan sawit. ISPO menggunakan standar ktiteria HighConservation Value Forest (HCVF), sementara para anggota IPOP sepakat untuk menambahkan kriteria High Carbon Stock (HCS). Hal ini membuka potensi terjadinya hambatan masuk pasar bagi mitra anggota IPOP yang telah sesuai dengan kebijakan Pemerintah, namun tidak memenuhi standar kriteria HCS;
- Pelaku usaha yang tergabung dalam IPOP menguasai pangsa pasar CPO yang cukup besar, sehingga para anggota IPOP memiliki kekuatan pasar yang cukup besar;
- Kementerian Pertanian berpendapat bahwa pelaksanaan isi kesepakatan dalam IPOP sulit untuk diterapkan, mengingat beberapa poin kesepakatan tidak sesuai dengan peraturan yang ada di Indonesia;
- Kementerian Perekonomian berpendapat IPOP masih dapat dijalankan jika kesepakatan hanya dijalankan secara Businness to Businness, selama tidakbertentangan dengan peraturan di Indonesia.
(Redaksi SAWIT INDONESIA)