Jakarta, SAWIT INDONESIA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah mengantongi calon tersangka di perkara dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), kendati belum diumumkan secara resmi. Seperti diketahui, kasus tersebut melibatkan sejumlah perusahaan dari mulai sektor nikel hingga sawit. Tiga debitur terindikasi fraud yang sudah ditelaah KPK itu yakni perusahaan berinisial PT PE, PT RII dan PT SMYL. Indikasi kerugian pada tiga korporasi itu terhitung sekitar Rp3,45 triliun.
Secara terperinci, perusahaan berinisial RII diduga telah melakukan korupsi dengan nilai Rp1,8 triliun, SMR sebesar Rp216 miliar, SMU sebesar Rp144 miliar, dan PRS sebesar Rp305 miliar.
Penyidikan KPK ini dilakukan sehari setelah Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati melaporkan kasus serupa ke Kejaksaan Agung, Senin (18/3/2024). Pihak KPK menyebut sudah melakukan penyelidikan atas kasus tersebut sebelum Menkeu memberikan laporan ke Kejagung.
“Calon [tersangka] ada. Enggak usah saya sebutkan,” ujar Wakil Ketua KPK Alexander Marwata pada konferensi pers penyidikan kasus LPEI di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, dikutip Rabu (20/3/2024).
Di sisi lain, penyidik KPK pun sudah meminta klarifikasi sejumlah pihak terkait sebelum kasus itu resmi naik penyidikan kemarin, Selasa (19/3/2024). Permintaan klarifikasi dilakukan termasuk pada pihak pelapor kasus itu, yang enggan diungkap identitasnya oleh KPK.
Laporan itu pun disebut diterima KPK pada 10 Mei 2023. Laporan itu lalu naik ke tahap penyelidikan pada 13 Februari 2024. Lembaga antirasuah itu pun enggan menjelaskan apabila sebelumnya sudah ada koordinasi dengan pihak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengenai kasus tersebut, sebelum adanya pelaporan ke Kejagung.
“KPK menerima laporan 10 Mei 2023, siapa itu, apakah Kemenkeu, kami tidak perlu menyampaikan,” ujar Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam kesempatan yang sama.
Ghufron lalu menjelaskan, langkah pihaknya untuk menaikkan perkara LPEI ke penyidikan sehari setelah laporan Menkeu ke Kejagung guna mencegah duplikasi proses hukum maupun kerja-kerja penegak hukum di dua lembaga menjadi berulang (redundant) untuk obyek-obyek yang sama.
Meski demikian, dia membuka kemungkinan bisa jadi obyek kasus yang kini sudah ditangani KPK pada penyidikan berbeda dengan yang diterima laporannya oleh Kejagung, maupun sebaliknya.
“Mungkin [obyek kasus] ada yang sama, siapa tahu mungkin tidak ada yang sama. Kalau ada yang tidak sama, maka kemudian tetap kemudian bisa jalan. Tetap kami berkoordinasi dan saling bertukar alat bukti bahkan,” tuturnya.