Selain harus mengahadapi kampanye negatif, industri sawit Indonesia akhir-akhir ini juga dihadapkan dengan isu masyarakat adat. Hal itu, terungkap dalam sambutan yang disampaikan Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Joko Supriyono dalam dialog webinar bertemakan “Merawat Industri Sawit di Tengah isu Masyarakat Adat”, yang diselenggarakan Borneo Forum dan Majalah Sawit Indonesia pada akhir September 2020.
Joko mengatakan merawat industri sawit memang tidak mudah di tengah pandemi Covid-19, dan ditambah lagi dengan adanya isu masyarakat adat. “Ini baru merawat belum lagi mengembangkannya, sehingga sangat menantang. Memang beberapa tahun terakhir sangat santer mendengar isu masyarakat adat,” ujarnya.
Selanjutnya, pria yang menjabat sebagai Ketua GAPKI dua periode menjelaskan sawit di tanam di Indonesia sejak 1848-an, sementara isu masyarakat adat datang kira-kira 5 tahun terakhir. “Jadi, memang kita harus menyadari sepenuhnya bahwa industri sawit terus berkembang. “Dan, akan terus berkembang dengan indikator, produktivitas dan ekspor meningkat serta konsumsi domestik juga meningkat. Serta, kontribusi pada perekonomian di Indonesia terus meningkat,” lanjutnya.
Selain itu, tambah Joko, petani yang terlibat juga semakin meningkat. Ini membuktikan industri sawit di Indonesia terus berkembang dan meningkat. “Dan, akan terus berkembang, Ini sangat bagus dan kami meyakini industri sawit tetap menjadi industri unggulan. Bahkan di tengah pandemi Covid-19, sektor industri lain mengeluh, tetapi industri sawit tetap survive, operasional tetap berjalan, meskipun pasar melemah. Kita masih bisa mengelola sehingga kinerja industri sawit tetap positif,” kata Joko dalam sambutannya.
Seiring dengan berkembangnya industri sawit, tantangan juga bertambah, seperti masyarakat adat yang muncul belum lama, isu tenaga kerja sebelumnya industri sawit belum pernah ada, isu HAM baru sekarang industri sawit dikaitkan dengan HAM.
“Saya sengaja menampilkan ketiga isu di atas. Tetapi sebenarnya isu ini sangat banyak. Beberapa waktu lalu, saya bertemu dengan Duta Besar Uni Eropa (UE). Isu tenaga kerja sebetulnya di sponsori oleh ILO, HAM juga di sponsori oleh United Nation (UN), dan isu masyarakat adat juga di sponsori oleh lembaga/badan dunia,” ujar Joko.
Lebih lanjut Joko juga menegaskan saya membayangkan industri sawit akan terus berhadapan dengan kekuatan dunia supaya sawit tidak menonjol di dunia, karena sawit 33% menguasai pasar dunia baik untuk food mau pun industri. “Ini yang kemudian menjadi pesaing sawit menjelma berbagai serangan. Maka, kita harus sadar bahwa serangan (kampanye negatif) tidak berdampak pada industri sawit. Baik pelaku usaha sawit dan petani menghadapi beban baru,” imbuhnya.
Ketiga isu di atas harus menjadi perhatian pelaku usaha sawit dan petani, yang menjadi tambahan social risk. Untuk itu, Joko menekankan pelaku usaha sawit harus terus menyuarakan pada pemerintah bahwa posisi masyarakat adat harus jelas. “Dalam UU di Indonesia masyarakat adat belum clear. Karena isu sosial terus digerakan dengan adanya isu masyarakat adat, kemudian ada klaim tanah. Klaim tanah sekarang nuansanya menjadi klaim masyarakat adat. Bahkan kebun yang usianya sudah mencapai ratusan tahun diklaim Masyarakat Adat,” tegasnya.
“Maka, pemerintah harus memprioritaskan menyiapkan regulasi untuk masyarakat adat, regulasinya mau sepertiapa? Saya membaca di media, di Kalimantan Tengah seolah-olah masyarakat adat harus diberikan tempat. Pemerintah harus hadir, memetakan secara clear apa itu masyarakat adat,” tambah Joko.
Dan, yang tak kalah penting untuk diperhatikan, petani sawit yang jumlahnya mencapai 4 juta, Joko mengatakan petani sawit itu masyarakat apa? Karena sebagian juga berasal dari masyarakat lokal. “Jadi, jangan sampai ada masyarakat lokal yang sudah mati-matian merawat kebun ternyata kebunnya bermasalah. Kalau dilihat dari sejarahnya bisa disebut masyarakat adat,” kata Joko.
Menurut pria lulusan Fakultas Pertanian UGM, terkait dengan isu Masyarakat Adat, pemerintah harus membuat skala prioritas terkait isu masyarakat adat yang semakin mendesak. Sebagai contoh lain, masalah tumpang tindih kawasan hutan yang diderita pelaku usaha sawit dan petani sawit. “Ada regulasi yang mungkin semangat awalnya membantu menyelesaikan masalah tumpang tindih kawasan hutan. Kalau baca Permen Penyelesaian Masalah Hutan dan Perhutanan Sosial.
(Selengkapnya dapat di baca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 108)