JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Produktivitas tanaman menghadapi ancaman serius akibat rusaknya tanah dan penggunaan pestisida berlebihan. Pemerintah harus mewaspadai kondisi ini supaya tidak mengganggu ketahanan pangan nasional.
Hal ini diungkapkan Senior Expatriate Tech-Cooperation Aspac Food and Agriculture Organizazition (FAO), Ratno Soetjiptadie Ph.D, dalam diskusi bertemakan “Produktivitas vs Importasi Beras, Ada Apa?” yang diadakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan), di kantor Kementerian Pertanian, Jakarta, pada Senin (9 Juli 2018).
Ratno menjelaskan sekitar 69 persen tanah Indonesia masuk pada kategori rusak parah yang disebabkan penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebihan. Tidak hanya itu, penggunaan teknologi oleh petani juga masih rendah dikarenakan minimnya ilmu pengetahuan.
“Petani tidak dapat mengukur Ph tanah atau obat-obatan apa saja yang tidak boleh digunakan. Kemudian petani tidak bisa memilih benih unggul,” ungkapnya.
Untuk itu, perlu adanya perubahan pola dalam pertanian terutama di Indonesia. Menurut Ratno, perlu ada program perbaikan tanah secepatnya atau Soil Amendment Programme (Program Pembugaran Tanah) dengan memperbaiki sifat biologi tanah.
“Selama ini kita hanya memperhatikan sifat fisika dan kimia. Sementara aspek biologi tidak pernah dipikirkan. Nenek moyang kita jaman dulu tidak ada pupuk, tapi bisa tanam dan panen. Saat intensif pakai pupuk malahan produksi turun atau terjadi gagal panen. Untuk membangun pertanian harus berkelanjutan, tidak bisa sekadar lima tahunan saja,” ujarnya.
Sebagai contoh, ada kekeliruan yang terjadi di Karawang (Jawa Barat) dalam rangka meningkatkan produktivitas padi melalui pemberian pupuk di tanaman padi hingga 1 ton. Hal ini tidak boleh lagi terulang. Kasus tersebut ditemukan Ratno di daerah yang notabenenya menjadi lahan pertanian pangan. “Petani beranggapan bahwa diberi input satu kilogram maka ada kenaikan produksi. Akibatnya biaya produksi beras di Indonesia menjadi tinggi salah satunya dari kontribusi pembelian pupuk,” jelas Ratno.
Lebih lanjut Ratno menambahkan, biaya produksi beras Indonesia sebesar Rp 5.900 per kilogram (kg), Vietnam Rp 2.300 per kg, Australia Rp 1.800 per kg dan Amerika Serikat Rp 900 per kg. “Ditakutkan jka tidak terobosan, Indonesia akan tetap impor beras. Sementara sekitar 40 juta petani padi di Indonesia itu menghidupi penduduk 240 juta jiwa itu riskan,” ujarnya.
Sementara itu, Yuana Leksana selaku Ketua Kompartemen Tanaman Pangan Asosiasi Perbenihan Indonesia (Asbenindo) menyoroti produktifitas jagung yang menggunakan sentuhan teknologi hibrida jauh lebih produktif. “Produktivitas jagung meningkat, salah satu kontbusi utama adalah penggunaan teknologi hibrida,” ujarnya.
Produktivitas adalah parameter atau refleksi dari ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga mendorong keterlibatan sektor swasta dalam industri benih. “Keterlibatan industri benih berdampak positif pada rangkaian proses yang sistematis mulai dari kebutuhan pasar, penelitian, produksi benih, pemasaran hingga pendampingan konsumen,” tambah Yuana.
Kendati data dari Kemeterian Pertanian mencatat adanya peningkatan produksi padi dan jagung pada tiga tahun terakhir namun dari sisi produktivitas menurun. Produktivitas padi tahun 2015 sebesar 5,34 ton per hektar, tahun 2016 turun menjadi 5,24 ton per hektar dan tahun 2017 hanya mencapai 5,16 ton per hektar. (Robi Fitrianto)