Beban pelaku usaha kelapa sawit semakin bertambah akibat status Hak Guna Usaha (HGU) kebun tidak mudah didapatkan. Padahal, dari segi persyaratan sudah terpenuhi namun izin tak kunjung keluar dari Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Fauzi Chairul, Kepala Biro Hukum PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III, merasa cemas dengan status lahan perkebunan sawit perusahaan karena sampai delapan tahun izin HGU tak kunjung keluar. Tercatat, ada lima kebun yang masih dalam proses perpanjangan HGU yaitu Sungai Putih, Sungai Silo, Sungai Dadap, Sisumut, dan Bandar Betsy yang berlokasi di Sumatera Utara.
Dia menceritakan pengajuan waktu perpanjangan ini telah dilakukan semenjak tahun 2005. Dengan luas lahan sawit yang mencapai sekitar 30 ribu hektare, wajar kalau perusahaan khawatir HGU tidak dapat keluar. Proses pengajuan ini sudah dilakukan bolak balik ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk mengetahui apakah memang ditolak atau tidak. “Tetapi, kami belum dapat kabar dari mereka. Perlu diketahui, kami telah selesaikan persyaratan semenjak 3-4 tahun lalu,” ujarnya.
Kondisi yang terjadi sekarang ini, kata Fauzi Chairul, masyarakat beramai-ramai mengajukan surat kepada BPN yang berisi menolak perpanjangan HGU kami. Hal inilah yang berdampak itu tidak ada kepastian hukum sehingga siapa saja bisa mengklaim lahan kami.
Menurut Fauzi, harus ada perlindungan untuk pelaku usaha di UU 18/2004 tentang perkebunan pasal 21 junto 47 yang lalu dijudicial review MK tetapi dicabut, sehingga masyarakat berpotensi untuk menggarap kebun.
Dalam Peraturan Menteri Nomor 40 Tahun 1996 mengenai Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah, pasal 10 ayat 1, permohonan perpanjangan jangka waktu Hak Guna Usaha atau pembaharuannya diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum berakhirnya jangka waktu Hak Guna Usaha tersebut.
Hal sama dialami oleh PT Hindoli, anak usaha Cargill, yang belum mendapatkan status HGU. Yunita Sidauruk, Direktur Government Affairs Cargill, menceritakan sudah mengurus HGU semenjak tahun 2009 di mana semua dokumen komplit tetapi ada ketentuan dari pihak BPN yan belum dinotice sebelumnya. PT Hindoli sedang memproses status lahan HGU perkebunannya seluas 5.000-6.000 hektare di Banyuasin, Sumatera Selatan. Ada tiga kebun yang masih dalam tahapan pengajuan yaitu Sungai Tungkal, Sungai Pelepah dan Sri Gunung.
Ketiadaan HGU menimbulkan ketidakpastian bagi perusahaan. Contohnya saja bulan Oktober kemarin, keluar aturan bahwa lahan Hindoli yang berada di daerah banyuasin terindikasi lahan terlantar. Padahal, sebelumnya tidak ada ketentuan seperti itu, yang selanjutnya perlu dilakukan klarifikasi melalui Kantor Wilayah (Kanwil) BPN Palembang.
Dari Kanwil BPN Palembang sangat mendukung kami langkah yang diajukan perusahaan. Yunita menjelaskan ada surat dari BPN Palembang ke Jakarta semestinya harus ekspose setelah itu baru ada surat pencabutan yang dikeluarkan pihak pusat kepada Kanwil BPN Palembang yang semestinya dikeluarkan pada 23 Mei 2013. Namun belum keluar juga hingga 19 juni 2013.
Di daerah, PT Hindoli mendapatkan dukungan dari berbagai pihak seperti Kanwil BPN sampai pemerintahan provinsi. Sebelum HGU keluar pihak kanwil akan melakukan kunjungan ke lapangan, menurut kami yang paling tahu kondisi lapangan itu kabupaten dan provinsi. Dalam hal ini, ujar Yunita Sidauruk, terlihat kurang adanya harmonisasi antara provinsi dan pusat. Di tingkat daerah, Alex Noerdin selaku Gubernur Sumatera Selatan, mendukung penuh perusahaan dalam pengajuan HGU, bukan itu saja rekomendasi telah diberikan oleh bupati.
Bahkan demi memperkuat dukungan, pihak perusahaan meminta surat rekomendasi dari Direktorat Jenderal Perkebunan. Kendati, ujar Yunita, ketentuan ini sebenarnya tidak ada ketentuan tetapi langkah ini diambil demi memperkuat dukungan saja. “Surat rekomendasi dari pihak direktur jenderal perkebunan sudah dikirimkan pada Desember 2011. Tetapi itupun tidak pengaruh karena HGU lahan kami belum juga keluar,” kata Yunita.
Tak hanya itu saja, petani dan masyarakat sekitar mendukung perusahaan untuk memperoleh HGU. Pernah satu kali dalam pertemuan pihak petani menanyakan kapan lahan perkebunan kami ditetapkan status HGU. Menurut Yunita, masyarakat melihat niat baik perusahaan sangatlah tinggi dalam peningkatan taraf hidup. Hal ini dapat terlihat dari lahan plasma PT Hindoli yang mencapai 17 ribu hektare.
Yunita mengatakan perusahaan tidak keberatan memenuhi persyaratan apapun asalkan ada petunjuk yang disiapkan. Perlu diketahui, semua persyaratan HGU telah dipenuhi perusahaan tapi persetujuan tak kunjung keluar. Misalkan saja, keterangan dari BPN setempat bahwa tidak ada overlapping dengan penggunaan lain. Lalu surat pernyataan dari kepala dinas kehutanan setempat bahwa tidak ada areal perusahaan yang bersinggungan dengan kawasan hutan. Persyaratan lain yang dilampirkan peta dan surat perjanjian dengan petani yang sudah dilegalisir notaris.
Untuk menunjukkan keseriusan, Yunita rajin datang ke BPN setidaknya seminggu sekali khususnya direktorat penatagunaan tanah. Memang, BPN beralasan ingin hati-hati dalam mengeluarkan HGU karena ingin lahan tidak mau ketika mengeluarkan HGU ternyata lahan tersebut belum beres.
Menyikapi hal ini, Noor Marzuki, Direktur Penatagunaan Tanah, mengatakan pihaknya sangat teliti dan selektif dalam memberikan status HGU kepada perkebunan. Prinsip kehati-hatian dipegang oleh pihak BPN dalam melihat kondisi lahan tadi di lapangan. Misalkan saja, apakah lahan tersebut terjadi konflik atau tidak, hal ini menjadi perhatian dari BPN. Untuk lahan yang akan diperpanjang status HGU, ada kemungkinan sudah berubah bentuknya karena telah ada jalan raya, perkampungan, dan bangunan.
Menurut Noor Marzuki, kasus yang dihadapi perusahaan perkebunan negara itu yang lahannya berasal dari nasionalisasi itu bisa jadi sudah ada perubahan bentuk lahan. Bisa jadi, lahan tersebut akan bertambah luas di lapangan sehingga perlu dikaji kembali.
Yunita Sidauruk mengatakan kalau memang ada resiko semestinya BPN tidak lepas tanggung jawab begitu saja. Jika ada resiko, itu bisa akan menjadi tanggungjawab BPN dan pelaku usaha. Namun, perlu dilihat juga reputasi perusahaan bersangkutan,sebaiknya tidak disamakan dengan perusahaan lain yang baru membuka kebun.
Abdul Halim Johar, Ketua Gapki I Cabang Kalimantan Timur,mengakui lamanya proses penyelesaian HGU tergantung dari kelengkapan administrasi/persyaratan maupun hal-hal lainnya, karena ada juga proses HGU yang dapat diselesaikan kurang dari dua (2) tahun. Kendala yang dihadapi antara lain adanya tumpang tindih ijin, adanya penguasaan dan pengakuan masyarakat, status kawasan dari BPKH, RTRW baru yang masih belum disyahkan, juga sidang Panitia B serta persyaratan-2 lainnya tentunya yang harus dilengkapi.
Abdul Halim menambahkan HGU adalah salah satu persyaratan penting yang harus dimiliki oleh perusahaan sebagai bentuk legalitas formal dari pemerintah, jika belum memiliki HGU maka akan berdampak pada pencapaian target kinerja perusahaan, kepastian usaha serta pendapatan negara dari obyek pajak.
Berdasarkan data dari Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Timur s/d Tahun 2012, pemegang IUP di Kalimantan Timur sejumlah 208 Perusahaan Perkebunan untuk seluas 2.819.834,8 hektare yang tersebar di 11 Kabupaten/Kota .Dari Jumlah tersebut telah memiliki HGU sejumlah 116 HGU dengan luas 1.009.748,3 hektare.
Sadino, Direktur Eksekutif Biro Kajian Hukum dan Kebijakan Kehutanan, jika seluruh persyaratan sudah dipenuhi dan ternyata pemerintah tidak segera memberikan HGU, baik yang baru maupun perpanjangan, maka pemerintah telah melakukan tata kelola pemerintah yang tidak baik dan menyimpang dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), dan semakin tidak memberikan kepastian hukum atas hak atas tanah dimaksud. Tentunya Pemerintah segera melakukan perbaikan untuk dapat memberikan kepastian hukum, jika HGU yang dimohon tersebut akan dipergunakan untuk kepentingan penanaman modal.
“Pemberian HGU yang baru maupun perpanjangan yang lama, tentu semakin merugikan semua pihak dan lahan tersebut tidak mempunyai kepastian hukum karena kebutuhan lahan semakin mendesak terhadap semua pihak,” kata Sadino.
Sadino menjelaskan seyogyanya antar Pemerintah saling mendukung satu sama lain. Tidak seperti saat ini Pemerintah saling berjalan sendiri-sendiri dalam menjalankan kebijakan terkait dengan investasi usaha perkebunan yang memerlukan lahan dalam bentuk HGU. Sikap Pemerintah harus sama jika ingin memberikan kepastian hukum atas lahan untuk usaha perkebunan dalam bentuk HGU. Jika draft revisi Permentan 26/2007 tidak memperhatikan kesulitan pengurusan antar instansi pemerintah, maka waktu 3 tahun tersebut tidak cukup. Perbaikan Permentan ini harus memperhatikan kesulitan-kesulitan tersebut. (Qayuum Amri)