NUSA DUA, SAWIT INDONESIA – Pola kemitraan antara perusahaan dan perkebunan sawit rakyat akan membantu peningkatan produktivitas dan mencapai tata kelola perkebunan sawit rakyat secara berkelanjutan (sustainabilitas). Artinya, pola kemitraan harus menjadi perhatian utama dalam pengembangan industri kelapa sawit nasional.
Hal ini disampaikan Bambang Aria Wisena Ketua Bidang Komunikasi GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) di depan media dalam silaturahmi menjelang Konferensi Sawit Internasional (IPOC) 2017 di Bali Nusa Dua Convention Center, Rabu (1/11).
Ia menambahkan, saat ini rata-rata tingkat produktivitas perkebunan sawit rakyat masih rendah yaitu di bawah 18 ton TBS (tandan buah segar) per hektar per tahun. Padahal, yield perkebunan sawit besar bisa mencapai 30 ton TBS per hektar per tahun.
“Untuk mempersempit kesenjangan produktivitas ini, strategi terbaik adalah kemitraan antara perusahaan dengan perkebunan rakyat,” jelas dia.
Atas hal itu, ia yakin dengan pola kemitraan yang kuat maka yield per hektar perkebunan rakyat juga akan terdongkrak naik. Dampak lainnya dari pola kemitraan, akan membuat daya saing mereka juga akan lebih kuat.
Di sisi lain, pola kemitraan juga menepis keraguan bahwa perusahaan skala besar meninggalkan perkebunan rakyat. Ke depan, pengelolaan perkebunan juga seharusnya menjadi perhatian penting dalam hal penyediaan bibit dan pendanaan yang cukup untuk program replanting.
Sejalan dengan pola kemitraan itu, menurut Bambang, tuntutan global agar industri kelapa sawit nasional semakin berkelanjutan juga akan terjawab.
Dr Lulie Melling, Direktur Tropical Peat Research Institute (TPRI) Serawak Malaysia sekaligus pakar gambut, mengamini manfaat pola kemitraan perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
“Kemitraan antara perusahaan dengan perkebunan rakyat akan menjamin tata kelola yang berkelanjutan. Termasuk tata kelola perkebunan masyarakat di lahan gambut,” kata Lulie yang diundang hadir dalam IPOC 2017.
Sumber foto: istimewa