Oleh : Tim Riset PASPI
PENDAHULUAN
Sejalan dengan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 80/MDAG/PER/10/2014 yang ditandatangani pada 17 Oktober 2014, pemerintah mewajibkan seluruh produsen memproduksi minyak goreng wajib kemasan (branded cooking oil) dan menghapus minyak goreng curah. Kebijakan tersebut seyogyanya akan berlaku efektif pada 27 Maret 2015 bagi minyak goreng yang berbahan baku sawit dan berlaku wajib pada 1 Januari 2016 pada minyak goreng dari minyak nabati.
Ada beberapa alasan yang mendasari kebijakan tersebut, antaralain (a) higienitas: minyak goreng kemasan lebih layak dan lebih sehat untuk dikonsumsi, (b) proses produksi : minyak goreng kemasan dilakukan dengan dua kali penyaringan, sedangkan minyak goreng curah hanya melalui proses penyaringan satu, atau sampai pada tahap olein, sehingga masih mengandung minyak fraksi padat. (warna minyak goreng kemasan lebih jernih). Kandungannya, kadar lemak dan asam oleat pada minyak curah juga lebih tinggi dibanding minyak kemasan dan (c) proses distribusi: tingkat sanitasi dan kebersihan minyak kemasan lebih baik dan lebih terjamin kebersihannya. Kebijakan ini sudah mulai dipersiapkan sejak tahun 2009, dengan memproduksi MinyakKita, dan upaya sosialisasi di berbagai daerah di Indonesia. Namun hingga kini belum bisa terealisasi dengan baik. Kebijakan ini tidak bisa dilakukan dengan larangan berproduksi secara serentak pada waktu yang singkat. Bahkan kebijakan larangan ini juga memasuki wilayah politis yakni soal isu keberpihakan dan isu kerakyatan.
Bersamaan dengan kebijakan tersebut, Pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Menteri Perindustrian No 35/2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perindustrian No 87/2013 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) Minyak Goreng Sawit Secara Wajib diundangkan pada 26 Maret 2015.
Kebijakan SNI ini tidak dapat berjalan efektif dan Asosiasi GIMNI meminta penundaan pemberlakukan ketentuan tersebut hingga 2016, karena masih banyak merek dagang minyak goreng kemasan yang belum terdaftar. Dari kedua hal di atas, minyak goreng indonesia tidak dapat dilihat dari sisi supply side semata, tetapi juga tidak terlepas dari demand side. Untuk itulah, tulisan ini ingin dimaksudkan untuk memberikan informasi dan gambaran yang lebih luas tentang Minyak Goreng Indonesia.
- MINYAK GORENG ADALAH BAHAN PANGAN POKOK DAN RENTAN TERHADAP GEJOLAK HARGA
Kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan minyak goreng sudah dimulai sejak tahun 1978, yakni dengan diterbitkannya SKB Mendagkop, Menteri Pertanian dan Menperindag untuk mengatur alokasi kebutuhan CPO dalam negeri dan pengaturan penjualan CPO di pasar domestik. Kebijakan ini dilatarbelakangi oleh kenaikan harga minyak goreng di dalam negeri, karena negara mengalami kekurangan pasokan kopra dan CPO. Pada tahun 1977-1978 minyak kelapa sawit hanya diperuntukkan bagi ekspor, namun selanjutnya minyak kelapa sawit mulai diarahkan untuk memenuhi kekurangan bahan baku minyak goreng dalam negeri untuk mensubstitusi minyak kelapa dan kopra yang mengalami kelangkaan.
Kebijakan liberalisasi perdagangan tahun 1991 berdampak pada kenaikan harga minyak goreng dan ekspor CPO dan memicu lonjakan harga minyak goreng tahun 1994. Untuk mengendalikan keadaan ini pemerintah memberlakukan pajak ekspor CPO dan hasil olahannya sekitar 40 hingga 75 persen. Implementasi kebijakan ini hanya berlaku bila harga minyak goreng mencapai Rp 1.250 per kg. (Rata-rata harga sebelumnya adalah Rp 800 per kg). Pentingnya peran pemerintah dalam mengendalikan harga minyak goreng karena harga minyak goreng memiliki dampak ekonomi yang luas, menimbulkan keresahan masyarakat miskin dan industri kecil dan mempengaruhi kenaikan harga-harga kebutuhan pokok lainnya. Jika tidak dikendalikan, maka kenaikan harga minyak goreng juga merambat pada masalah sosial dan politik. (Susila, 2007).
Dalam rangka stabilisasi harga minyak goreng, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang meliputi (1) kebijakan pada sisi input (hulu) berupa kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) serta kebijakan Pajak Ekspor (PE) progresif dan (2) kebijakan pada sisi output (hilir) melalui operasi pasar (OP) minyak goreng bersubsidi dan pembebasan PPN untuk penjualan minyak goreng curah (PPN-DTP).
Data empiris menunjukkan dampak kebijakan pajak ekspor cukup positif dan berhasil meredam kenaikan harga minyak goreng. Kenaikan harga minyak goreng kembali terjadi tahun 1992 dan 1994 sebagai akibat dari kenaikan harga CPO di pasar dunia. Gejolak harga tersebut diatasi dengan menerapkan pajak ekspor hingga 60 persen dan dibarengi dengan kebijakan alokasi CPO di pasar domestik pada tahun 1994. Kebijakan Domestik Market Obligation didasarkan pada Keputusan Menteri Pertanian No.339/Kpts/PD.300/5/2007 tentang pasokan CPO untuk kebutuhan dalam negeri guna stabilisasi harga minyak goreng curah bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit anggota GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) maupun non anggota GAPKI. Dua alternatif yang ditawarkan oleh pemerintah untuk kebijakan DMO minyak sawit mentah yaitu :
- Pengusaha wajib menyediakan pasokan minyak goreng domestik 20 persen yaitu 2,4 juta ton minyak goreng atau setara dengan 3.3 juta ton CPO.
- Pengusaha wajib menyediakan pasokan minyak goreng domestik 18 persen yaitu 2,15 juta ton minyak goreng atau setara dengan 2.96 juta ton CPO.
Kedua alternatif kebijakan tersebut dibuat berdasarkan pada perhitungan kebutuhan minyak goreng selama setahun dan berlaku untuk produsen CPO yang mempunyai luas lahan perkebunan sedikitnya 1.000 hektar. Dalam pelaksanaannya komitmen perusahaan dalam memenuhi alokasi pasokan yang ditetapkan dalam DMO tidak terealisasi sepenuhnya (Ketut, 2010). Bulan Mei 2007 hanya terealisasi 59 persen (dari komitmen DMO CPO berjumlah 97.525 ton), sedangkan sampai dengan 12 Juni 2007 hanya terealisasi 10 persen (dari komitmen Juni dan carry over bulan Mei 142.781 ton). Sampai waktu tersebut DMO tidak berlanjut.
(Selengkapnya baca Majalah SAWIT INDONESIA Edisi 15 Desember 2015-15 Januari 2016)