Tuduhan negatif terhadap biodiesel berbasis sawit kian gencar diserukan di Uni Eropa. Muncul wacana mandatori biofuel Uni Eropa mendorong deforestasi di negara produsen CPO yaitu Indonesia dan Malaysia.
Dalam penelitian International Institute for Sustainable Development, lembaga penelitian ekonomi dan lingkungan, yang berjudul “The EU Biofuel Policyand Palm Oil: Cutting Subsidies or Cutting Rainforest? kebijakan mandatori biofuel negara-negara Uni Eropa dipersoalkan karena berpotensi meningkatkan dampak deforestasi secara langsung kepada negara berkembang produsen CPO seperti Indonesia.
Anehnya, hipotesis yang terdapat dalam penelitian ini langsung menohok kepada biodiesel berbahan baku minyak sawit. Artinya, semakin tinggi permintaan biodiesel dari Uni Eropa secara langsung mendorong kebutuhan CPO di tahun mendatang. Tingginya minat negara Uni Eropa kepada CPO karena minyak nabati yang mereka hasilkan seperti minyak kanola, minyak bunga matahari juga diperlukan industri makanan disana. Hal inilah yang membuat kompetisi antara industri pangan dan energi.
Sepanjang 2006-2012, kebutuhan minyak sawit negara EU-27 meningkat 40% dari 4,5 juta sampai 6,4 juta ton. Sebagai gambaran, konsumsi CPO untuk biodiesel pada 2012 sebesar 1,9 juta ton dan 0,6 juta ton dipakai untuk suplai listrik. Tak hanya itu, industri non energi juga menyerap 3,9 juta ton CPO yang digunakan untuk produk makanan, personal care, dan oleokimia.
Pengembangan biodiesel di Uni Eropa lebih maju karena ditopang besarnya kebijakan subsidi. Subsidi lebih difokuskan kepada sektor transportasi, sebagai gambaran International Energy Agency memperkirakan subsidi biofuel mencapai US$ 11 miliar pada 2011. Komisi Uni Eropa mempunyai target penggunaan biodiesel campuran 10% sampai 2020. Tujuan mandatori ini cukup mulai untuk menekan gas emisi rumah kaca dan mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak fosil.
Laporan IISD yang didanai Friend of Earth Europe ini membuat hipotesis bahwa semakin tingginya permintaan biodiesel sawit akan mengakibatkan tiga dampak negatif di negara produsen seperti Indonesia dan Malaysia. Pertama, perubahan lahan secara langsung lewat kegiatan deforestasi di negara produsen seperti Indonesia dan Uni Eropa. Disebutkan, telah terjadi perubahan hampir 90% dari konversi lahan di Kalimantan menjadi perkebunan kelapa sawit sepanjang 1990-2010.
Kedua, terjadi Indirect Land Use Change (ILUC) yang disebabkan tingginya permintaan biodiesel walaupun perusahaan biodiesel atau kelapa sawit sudah bersertifikat sustainable. Laporan ini mencurigai produsen bersertifikat tadi memakai minyak sawit yang belum bersertifikat untuk memenuhi kebutuhan.
Ketiga, dalam laporan ini berpretensi bahwa ada pelanggaran hak pekerja dan masyarakat adat dari pembangunan kelapa sawit. Laporan yang disusun peneliti IISD ini tidak memberikan fakta sahih dan kurang akurat dari hipotesis yang dibuat tadi. Pasalnya, laporan ini cenderung menyudutkan kelapa sawit sebagai sumber bahan baku biodiesel.
Dalam kesimpulan yang IISD, permintaan tambahan minyak sawit akan terus meningkat seiring dengan aturan mandatori biodiesel yang dijalankan pemerintahan di negara Uni Eropa. Setiap ton biodiesel yang diproduksi pada 2006-2012 akan mengonsumsi 110 kilogram minyak sawit untuk bahan bakunya. Diperkirakan sampai 2020 apabila mandatori biodiesel 10% jadi diterapkan maka konsumsi minyak sawit dapat sekitar 2,6 juta-2,7 juta ton atau naik 40% dari tahun 2012.
Tatang Soerawidjaja, Ketua Umum Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia, menyerukan supaya biodiesel lebih diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan energi di dalam negeri. Kebijakan mandatori biofuel yang digulirkan pemerintah dinilai lebih baik dibandingkan ekspor ke Uni Eropa.
“Kalau Eropa mempersulit biodiesel kita biarkan saja, tidak perlu ekspor kesana,” kata Tatang kepada SAWIT INDONESIA.
Berbagai kecaman terhadap biodiesel berbasis sawit sebetulnya dapat dipertanyakan karena produsen CPO telah mengikuti aturan seperti memiliki sertifikat International Sustainability and Carbon Certification (ISCC). Sertifikat ini diaudit lembaga sertifikasi yang ditunjuk Badan Federal Pertanian dan Pangan (BLE) Uni Eropa. Sertifikasi ini terbilang ketat karena menggunakan parameter aspek keberlanjutan yaitu pengurangan gas rumah kaca, pengelolaan lahan berkelanjutan, perlindungan habitat alam dan keberlanjutan sosial.
Paulus Tjakrawan, Sekretaris Jenderal Asosisi Produsen Biofuel Indonesia, meminta tuduhan negatif terhadap Indonesia harus dilawan dengan menggiatkan kampanye positif ke Uni Eropa. Pasar terbesar biodiesel sawit Indonesia berada di Uni Eropa.”Itu sebabnya pemerintah dan swasta harus bergandengan tangan dalam menjalankan kampanye positif,” pungkas Paulus. (Qayuum)