YOGYAKARTA, SAWIT INDONESIA – Petani sawit dari Aceh sampai Papua bingung dengan penerapan regulasi turunan dari UU Cipta Kerja yang justru berdampak merosotnya kesejahteraan petani sawit.
Informasi yang sudah beredar luas yaitu kewajiban seluruh pelaku sawit yang terindikasi berada dalam kawasan hutan, untuk segera memenuhi enam belas persyaratan untuk mendapatkan SK Data dan Informasi (Datin) sebelum 2 November 2023.
Untuk diketahui pada 2 November 2023 menjadi cut of date, batas terakhir, karena mengacu kepada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 atau Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) dan turunannya.
Sekalipun beredar informasi yang berbeda, bahwa dikatakan yang cut of date itu hanya yang dikenakan Pasal 110A dan petani sawit tidak termasuk dalam kelompok cut of date tersebut, namun pemberitahuan secara tertulis dari KLHK tidak ada sama sekali.
Regulasi turunan UUCK dalam bentuk PP dan Permen LHK menyatakan bahwa penyelesaian perkebunan sawit dalam kawasan hutan, terbagi menjadi 2 klaster tipologi sesuai dengan pasal 110A dan 110B.
Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Dr. Gulat ME Manurung, C.IMA mengatakan dampak dari penerapan Pasal 110B UUCK itu dan kemudian kewajiban petani sawit yang harus memiliki sertifikat ISPO paling lama 2025 telah “membunuh Petani Sawit dengan paket lengkap secara sistematis, masif dan terstruktur”.
“Paket pertama yaitu dimensi ekonom petani sawit akan mati dan akan menjadi pasien BLT [bantuan langsung tunai]. Paket kedua yaitu multiplier effect sosial, berupa aktifitas di kampung-kampung akan mati. Paket ketiga yaitu sawit yang tadinya sudah berumur di atas 25 tahun tidak lagi produktif, tidak boleh lagi di replanting meskipun sudah membayar denda.
“Paket ketiga ini mengakibatkan kebun sawit yang semula hijau namun sudah tidak produktif lagi karena umur, akan terlantar dan akan berdampak kepada lingkungan karena tidak terurus lagi,” ujar Gulat dalam diskusi Podcast Forum Sawit Indonesia (FoSI) “Kajian Implementasi Kebijakan pada Ekosistem Bisnis Perkebunan Kelapa Sawit”, Selasa (24/10/2023) di Kampus Instiper Yogyakarta.
Diketahui hadir dalam Podcast FoSI tersebut antara lain Prof. Dr. Ir. Bayu Krisnamurthi, Dr. Sadino, SH.,MH, Dr. Gulat ME Manurung, Joko Suprianto dan Prianto Puji Sulityo. Podcast yang dipandu oleh Direktur Pusat Sains Kelapa Sawit Instiper, Dr. Purwadi, merupakan ajang merangkum topik-topik yang akan difokuskan pada Forum Sawit Indonesia yang akan dihadiri seluruh stakeholder sawit seluruh Indonesia pada tanggal 23 Nopember nanti di Graha INSTIPER Yogyakarta.
Gulat pada Podcast tersebut selanjutnya mengatakan bahwa Pasal 110B yang mengatur penyelesaian perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam kawasan hutan sebelum tahun 2020 namun tidak mempunyai perizinan di bidang kehutanan.
“Uni Eropa melalui EUDR saja mengakui bahwa cut of year 2020 ke bawah tidak mempermasalahkan sawit yang sudah terbangun dan dianggap sudah berkelanjutan, tapi hanya mempermasalahkan kebun sawit yang ditanam dengan cara menumbangi hutan setelah tahun 2020. Masak justru kita sendiri yang menceburkan diri dengan selalu mempermasalahkan sawit yang tertanam sebelum tahun 2020,” kata Gulat.
“Sepemahaman kami pasal ini tidak menyelesaikan masalah, malah menimbulkan masalah yang jauh lebih parah terkhusus dari tiga dimensi tadi,” lanjutnya.
Padahal, ujar Gulat lagi, sesuai UUCK juga menegaskan cut of year-nya 2020 ke bawah, namun dalam aturan pelaksanaannya bergeser dari roh UUCK tersebut.
Menurutnya petani sawit dan stakeholder sawit lainnya serta KLHK harus jujur melihat permasalahan ini dan kami juga gerah dengan istilah pemutihan, karena faktanya kebun-kebun kami sudah terbangun dilokasi yang diklaim kawasan hutan yang secara regulasinya belum ada penetapan atau pengukuhan kawasan hitan tersebut, jadi hanya klaim sepihak dari KLHK.
“Jadi istilah pemutihan tidak tepat dilabelkan dalam tipologi ini, konotasinya negatif, harusnya menggunakan istilah penataan kembali,” kata Gulat.
“Dalam UU Kehutanan Nomor 41 tahun 1999 bahwa ada empat tahapan suatu hamparan dikatakan kawasan hutan, pertama penunjukan Kawasan hutan, kedua tapal batas kawasan hutan, ketiga kesepakatan peta Kawasan hutan (berita acara) dan tahapan terakhir atau keempat adalah penetapan/pengukuhan kawasan hutan.
Faktanya di Sumatera khususnya Riau dan Kalimantan, terutama Kalimantan Tengah, menurut catatan kami, sampai tahun 2020 kawasan hutan yang sudah sampai tahap pengukuhan tidak lebih dari 40%, ini adalah persolan pelik karena regulasi turunan UUCK tersebut (Pasal 110 B) berlaku surut kebelakang. Artinya semua yang tertanam sawit tahun 2020 ke bawah masuk dalam cakupan Pasal 110B.
“Tidak heran jika pasca lahirnya UUCK tersebut, KLHK mengebut pemasangan patok-patok kawasan hutan di perkebunan sawit yang diklaim dalam kawasan hutan, seperti di Riau misalnya, untuk mencapai target proyek. Harusnya pemasangan patok kawasan hutan ini harus memenuhi tahapan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 41 tahun 1999 tadi,” urai Gulat.
“Jika ini tetap dipaksakan oleh KLHK, justru KLHK yang menguasai kawasan hutan secara non prosedural, ” lanjut Gulat.
Melihat permasalahan ini, semua kita salah, stakeholder sawit, KLHK dan pejabat terkait di jamannya semua menyumbang persoalan sehingga kejadianlah yang 3,374 juta hektar tadi.
“Ya katakanlah ada petani yang sanggup bayar denda (Pasal 110B) tapi saat waktunya tiba untuk replanting tidak diperbolehkan, ini akan menjadi persoalan pelik yang sangat berbahaya ke depannya,” pungkas Gulat.
Penulis: Indra Gunawan