Limbah rumah tangga sisa pengorengan berupa minyak goreng bekas yang sering disebut jelantah pernah menjadi masalah serius disebuah pemukiman padat pendudukbernama cilincing di Jakarta Utara. Warga membuang limbah itu sembarangan kepekarangan rumah dan saluran air, sehingga menimbulkan aroma anyir serta serangan lalat yang mencerminkan aura kumuh lingkungan tempat tinggal.
Awal 2020, ketika banjir besar merendam sebagian daratan di Jakarta termasuk Cilincing, tumpahan minyak jelantah yang dulu dibuang sembarangan menyeruak kepermukaan terbawa arus banjir. “Minyak jelantah yang sudah lama dibuang bentuknya keras seperti lemak sapi berwarna kuning pucat mengambang di air banjir”, kata petugas operasional Dinas Lingkungan Hidup Jakarta Utara Samsudin saat ditemui di Jakarta, awal Juni 2021.
Dia menambahkan kegiatan membuang minyak jelantah sembarangan dapat berdampak buruk bagi lingkungan karena minyak sulit diurai oleh mikroorganisme tanah. Bak gayung bersambut, ketika warga sedang kebingungan mencari cara menangani limbah minyak goreng bekas, pemerintah setempat yang bekerja sama dengan lembaga nonprofit Rumah Sosial Kutub merencanakan program sedekah minyak jelantah.
Program itu mengedukasi warga agar tidak lagi membung limbah minyak goreng bekas keperkarangan dan saruran air. Limbah minyak goreng bekas mesti dikumpulkan dalam wadah penampungan berupa jerigen atau botol. “Warga menyambut gembira program itu karena mereka tak lagi binggung menangani limbah minyak jelantah”, tutur koordinator pengumpulan minyak jelantah Narki.
Pria paruh baya ini menyampaikan jadwal pengumpulan minyak jelantah di kawasan tempat tinggalnya dilakukan setiap Jum’at pagi mulai pukul 08.00 hinnga 11.00 WIB. Namun sehari sebelumnya para ibu-ibu pengurus RT, Rw, PKK, dan kelompok Dasawisma akan mendatangi setiap rumah wargauntuk mengambil minyak jelantah.
Jika sudah terkumpul, minyak jelantah itu kemudian disimpan di collection point agar memudahkan petugas melakukan penjembutan untuk kemudian dibawa ke pusat penampungan induk. “Sekitar jam 07.45 pagi setiap Jum’at, kami woro-woro pakai toa masjid memangil setiap perwakilan warga untuk menyerahkan jelantah, jenis beragam dari sampah hingga minyak jelantah”, ujar Narki.
Selama satu pekan, minyak jelantah yang dihasilkan setiap keluarga sekitar satu botol air mineral 600 mililiter. Sedangkan minyak jelantah yang dihasilkan warung makan bisa satu dirigen. Berkat program sedekah minyak jelantah tersebut lingkungan di Cilincing kini lebih bersih karena tidak ada lagi bau anyir dan minyak beku di pekarangan maupun saluran air.
Bahan baku biodiesel
Kepala program sedekah minyak jelantah dari Rumah Sosial Kutub Afiq Hidayatullah mengatakan minyak jelantah tidak bisa diolah lagi untuk dikonsumsi karena mengandung racun yang bisa menyebabkan pernyakit-pernyakit kronis, sehingga hanya cocok untuk dijadikan bahan bakar kendaraan diesel.
Rumah Sosial Kutub telah menginisiasi gerakan sedekah minyak jelantah sejak 2018. Kini aksi mengumpulkan minyak jelantah tersebut telah menyebar kebanyak kota mulai dari Jagodetabek, tegal, Cirebon hingga Yogyakarta.
Pada 2020, minyak jelantah yang terkumpul secara koleftif dari warga di Jagodetabek mencapai 100 ribu liter. Skema penjemputan minyak jelantah dilakukan sesuai pesanan. Masyarakat mengumpulkan minyak jelantah minimal lima dirigen ukuran 18 liter, jika dirigen sudah penuh maka petugas dari Rumah Sosial Kutub akan menjemput limbah tersebut.
Total dana yang dikelola dari satu dirigen ukuran 18 liter senilai Rp. 135 ribu. Dana itu dipakai untuk program sosial pemberdayaan masyarakat, bantuan rumah ibadah hingga santunan anak yatim piatu. Minyak jelantah yang terkumpul dari warga kemudian dikirim ke Eropa untuk diolah menjadi bahan bakar alternatif berupa Biodiesel 100 persen yang familiar dikenal B100.
Harga minyak jelantah dibandrol Rp. 8.000 per liter, setelah menjadi B100 harganya naik Rp. 22.000 per liter. “Di Eropa sangat gencar pengunaan bahan bakar rendah emisi. B100 masuk dalam katagori emisi karbon paling rendah”, kata Afiq.
Biodisel merupakan bahan bakar nabati yang terdiri dari campuran senyawa methyl ester dari rantai panjang asam lemak yang diperuntukan sebagai bahan bakar alternatif mesin diesel. Sejauh ini, Indonesia belum memanfaatkan potensi minyak jelantah secara maksimal untuk bahan baku pembuatan biodiesel, tetapi masih mengunakan minyak sawit mentah atau crude palm oil.
Pemerintah memilih minyak sawit karena pembudidayannya sudah mapan dan mengingat posisi Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar ke dua di dunia. Implementasi kebijakan mandatori pemanfaatan bahan bakar nabati telah menciptakan pasar biodiesel di Indonesia yang tumbuh signifikan terhitung sejak awal riset pada 2008 hingga 2020.
Data akhir tahun lalu menunjukan jumlah produksi biodiesel didalam negeri mencapai 8,5 juta kiloliter. Pemerintah menargetkan angka penyaluran biodiesel sebanyak 9,2 juta kiloliter pada tahun ini yang bertujuan menjaga stabilitas harga sawit didalam negeri. Keberhasial memproduksi biodisel itu sekaligus menempatkan posisi Indonesia sebagai negara yang diperhitungkan dalam pasar biodiesel dunia melampaui Amerika Serikat, Brazil maupun Jerman.
Namun sayang, bahan baku biodiesel yang bersumber dari minyak sawit justru menjadikan harga biodiesel kurang ekonomis karena harga minyak sawit yang terus naik. Pada juni 2021, harga index biodiesel dipasar domestik senilai Rp 11.034 per liter ditambah ongkos angkut.
Bandrol hargatersebut naik 7,86 persen dibandingkan harga index bulan sebelumnya yang harganya sebesar Rp 10.229 per liter. Kenaikan harga biodiesel terjadi akibat kenaikan harga rat-rata minyak sawit mentah. Tahun ini subsidi biodiesel diproyeksikan mencapai Rp 46 triliun dengan asumsi penyerapan biodiesel sebanyak 9,2 juta kiloliter dan selisih harga minyak sawit mentah dengan harga jual solar ke konsumen sekitar Rp. 5000 per liter.
Sumber : Antara