Petani sawit akan menghadapi persoalan legalitas lahan dalam upaya mencapai sertifikasi ISPO. Belum ada jalan keluar dan solusi pasti pemerintah. Tanpa kebijakan kuat, petani bisa tersingkir dari rantai pasok pasca mandatori berjalan sebagai mana diatur Perpres ISPO.
Masalah utama petani adalah legalitas lahan dan hal ini merupakan persyaratan utama mendapatkan sertifikasi ISPO”, benturan kerasnya ada disitu. Persoalan legalitas lahan tersebut mencakup seperti lahan sawit pekebun swadaya terindikasi berada di kawasan hutan, belum memiliki legalitas SHM (baru SKT), dan belum ada STD-B.
“Tantangan lain menjalankan ISPO petani yaitu tidak terdokumentasinya aspek agronomis kebun petani seperti sertifikat bibit, pencatatan aspek pupuk, belum terbentuknya koperasi dan belum ada Internal Control System (ICS),” kata Gulat Manurung, KetuaUmum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO).
Hal ini diungkapkannya dalam Dialog Ngeriung Bicara Sawit (NGEBAS) seri-IV bertemakan “Mandatori ISPO: Petani Mau Dibawa Kemana?”, yang diselenggarakan Majalah SAWIT INDONESIA dan DPP APKASINDO, Rabu (30 Juli 2020). Pembicara yang hadir antara lain Dr.Rosediana Suharto (Direktur Responsible Palm Oil Initiative), Diah Suradiredja ( Senior Advisor KEHATI ), Rismansyah Danasaputra (Perwakilan Lembaga Sertifikasi).
Gulat menjelaskan bahwa persoalan ini lah yang membuat keterlibatan petani dalam sertifikat ISPO sejak tahun 2015 sangat rendah, saat masih Permentan ISPO 2015 memang belum wajib bagi Petani untuk ISPO, namun di Perpres ISPO 2020 sudah diwajibkan pula.
Merujuk data Komisi ISPO, setelah adanya aturan ISPO ini lima tahun yang lalu ,baru 12.270 hektare perkebunan sawit petani bersertifikat ISPO atau 0,21% dari luas total kebun sawit petani 5,807 juta hektare. Itu sebabnya, petani sangat khawatir apa bila mandatori (wajib) ISPO menjadi persoalan baru dan sangat serius. 54 bulan kedepan, Tanpa Sertifikasi ISPO, TBS petani berpeluang ditolak oleh PKS bersertifikat ISPO dan ini akan memperburuk situasi disaat Pemerintah berhasil di sektor kemandirian energi biodisel.
“Tidak menutup kemungkinan, petani akan tersingkir dalam rantai pasok sawit Indonesia, lantaran tidak mempunyai sertifikasi ISPO. Kami petani bukan tidak mendukung ISPO tetapi pemerintah dalam hal ini kementerian terkait sebaiknya mencarikan solusi atas hambatan yang dihadapi petani untuk dapat ISPO,” jelas Gulat yang juga Auditor ISPO.
Dalam Jurnal Ilmu Lingkungan terbitan Sekolah Pasca sarjana Universitas Diponegoro pada, Arya Hadi Dharmawan, dkk menyusun penelitian berjudul Kesiapan Petani Kelapa Sawit Swadaya dalam Implementasi ISPO: Persoalan Lingkungan Hidup, Legalitas dan Keberlanjutan. Penelitian ini berlangsung di tiga desa yang berada di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Riau. Kesimpulan penelitian yaitu Kesimpulan Dengan melihat pada kesiapan petani kelapa sawit swadaya di tiga lokasi penelitian dalam menghadapi implementasi ISPO, secara struktur nafkah dinyatakan tidak siap karena pendapatan dari oil palm bukan merupakan sumber nafkah utama atau dominan. Dari sisi legalitas lahan juga tidak siap karena kebanyakan kebun menghadapi persoalan legalitas lahan (ketiadaan alas legal berupa sertifikat tanah) dimana konflik agraria antara kebun dan kawasan lindung tampak muncul di semua desa kasus. Dari sisi legalitas bibit juga dinyatakan tidak siap untuk mengimplementasikan ISPO karena sebagian besar petani kelapa sawit swadaya menggunakan bibit yang tidak jelas asal-usulnya. Jika sekali pun dinyatakan bersertifikat, tetapi bibit tersebut teridentifikasi bukan berasal dari lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan sertifikat bibit. Dari legalitas pengelolaan lingkungan hidup juga dinyatakan tidak siap karena sebagian besar petani tidak mengetahui prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan sesuai dengan standar ISPO yang ideal.
Gulat berpendapat bahwa Jika 54 bulan kedepan tidak ditemukan “vaksinnya”, maka petani sawit akan terpapar virus ISPO. Akibatnya petani akan tersingkir dari perkelapa sawitan Indonesia. Ada 18 juta manusia akan kehilangan mata pencaharian. Presiden Jokowi tentu tidak menginginkan hal ini terjadi sebab sangat beresiko, jajaran Kementerian terkait harus padu serasi mencarikan vaksin tersebut apa lagi dengan sudah terbitnya Inpres Nomor 6/ 2019 tentang RAN Sawit Berkelanjutan.
Sejatinya, APKASINDO tidak keberatan Perpres ISPO dibikin. Karena aturan ini bertujuan menata perkebunan kelapa sawit semakin produktif dan berkelanjutan. Namun, pemerintah juga sebaiknya membantu penyelesaian persoalan pokok petani. “Tak ada satu pun petani kelapa sawit yang mau kebunnya acak-acakan, tanaman jelek, produksi rendah. Enggak ada itu. Semua petani pasti menginginkan kebunnya bagus, aman, dan hasilnya mantap,” ujar kandidat Doktor Lingkungan ini.
Tantangan ISPO petani yaitu keterbatasan modal dan Sumber Daya Manusia (SDM) untuk membuat kebunnya bagus. “Di sinilah semestinya stakeholder hadir untuk membantu para petani kelapa sawit itu. Menggiring mereka untuk muncul menjadi petani berkelas dan modern. Ini persis seperti apa yang tertuang dalam program Nawa cita Presiden Jokowi dan pendiri Negara ini. Bahwa petani harus berdaulat di negeri sendiri,” terang Gulat.
(Selengkapnya dapat di baca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 106)