Penulis: Dr. Rio Christiawan,S.H.,M.Hum.,M.Kn*
Dalam Konferensi internasional hukum lingkungan digelar di Surakarta (Solo), Pada 7-8 September 2019. 3rd ICGLOW sebagai forum internasional hukum lingkungan yang dihadiri pakar hukum lingkungan dari berbagai negara untuk membahas berbagai macam persoalan hukum lingkungan yang menjadi fokus dunia internasional saat ini. Salah satu yang menjadi topik bahasan adalah isu terkait kebutuhan konservasi dan development perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Pada topik kelapa sawit pada 3rd ICGLOW disampaikan oleh pakar hukum perkebunan dan lingkungan Universitas Prasetiya Mulya Dr. Rio Christiawan,S.H.,M.Hum.,M.Kn.
Paper berjudul Conservation and Development Balance of the Palm Oil Industry Through Sustainability Regulation dibawakan oleh Dr. Rio Christiawan menegaskan bahwa saat ini Indonesia masih membutuhkan pengembangan industri sawit meskipun aspek konservasi dan restorasi menjadi sesuatu yang penting untuk dilakukan pada best practice industri kelapa sawit.
Minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil / CPO) merupakan sumber devisa terbesar sehingga diperlukan tata kelola yang baik secara lingkungan bagi produksi CPO itu sendiri. CPO diperoleh dari hasil pengolahan buah kelapa sawit yang dikelola melalui perkebunan kelapa sawit. Indonesia merupakan negara dengan luasan kebun kelapa sawit terbesar di dunia. Perkebunan kelapa sawit selain secara ekonomis menghasilkan pendapatan bagi negara, utamanya dalam bentuk devisa, namun di sisi lain pengelolaan kebun kelapa sawit juga memiliki sejumlah dampak negatif bagi kelestarian lingkungan.
Saat ini mengacu pada model pertumbuhan ekonomi hijau (green growth economic) yang telah digagas sejak Deklarasi Stockholm 1972. Konsep green growth economic itu sendiri dipandang sebagai jalan tengah dari pertentangan antara perspektif konservasi dan developmentalis yang berorientasi pada pengembanan lahan sawit.
Adanya regulasi yang kontradiktif pada akhirnya menyebabkan fokus pada pencapaian green growth economic melalui industri kelapa sawit dan CPO yang menjadi turunannya justru terkendala. Pada akhirnya hal ini berdampak secara komersial, mengingat pembeli CPO Indonesia umumnya berasal dari luar negeri, dan melihat bahwa ISPO belum dapat maksimal menjamin kelestarian lingkungan maka pembeli umumnya mensyaratkan sertifikasi internasional kelayakan lingkungan yakni RSPO (Round Sustainanble Palm Oil) untuk harga premium.
Kini persoalan yang harus segera diselesaikan adalah menyederhanakan dan merumuskan regulasi di bidang industri kelapa sawit yang berorientasi pada kelestarian lingkungan dan memenuhi kaidah keberlanjutan (sustainability). Tiga komponen yang perlu diserasikan adalah pertama aspek konservasi dan lingkungan hidup, kedua adalah aspek penyederhanaan perizinan yang dipergunakan sebagai dasar untuk mengelola kebun dan pabrik kelapa sawit, dan terakhir ketiga adalah peninjauan kembali aturan moratorium perizinan kelapa sawit khususnya instruksi presiden nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit.
(Selengkapnya dapat di baca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 95)