JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Sudah seminggu penerapan larangan ekspor sawit dan minyak goreng akibatnya harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit petani anjlok di mana-mana. Petani sawit menjadi korban utama dari kebijakan stabilisasi harga dan pasokan minyak goreng.
“Kalau tidak ada ekspor, alamat banjir CPO di dalam negeri. Petani bisa mandi CPO kalau seperti ini kondisinya,” ujar Amin Nugroho, Ketua Bidang Organisasi DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), dalam sambungan telepon, Selasa (10 Mei 2022).
Amin Nugroho menjelaskan pelarangan ekspor ini memberikan dampak kemana-mana terutama bagi petani. Sebab, ketika ekspor dilarang maka penjualan CPO dan RBD Olein terbatas ke dalam negeri seperti pabrik minyak goreng dan pabrik biodiesel.
“Dampaknya juga dirasakan pabrik biodisel karena selama ini biodiesel menerima insentif dari dana pungutan yang dikelola BPDPKS. Sedangkan sumber dana pungutan dari ekspor sawit seperti CPO dan olein. Kalau tidak ada ekspor malahan BPDPKS bisa bubar,” ujarnya.
Persoalan terberat adalah kelebihan pasokan CPO dan olein belum tentu dapat ditampung refineri di dalam negeri. Amin mempertanyakan jika pasokan sawit kepada pabrik minyak goreng dan biodiesel tidak tertampung di tangki timbun, apakah pabrik sawit tetap bisa membeli produksi TBS sawit petani yang total kebunnya mencapai 4,6 juta hektare?
Menurutnya kelebihan pasokan CPO ini dapat berakibat pabrik menahan pembelian buah dari petani.” Dapat dipastikan, perusahaan (pabrik) mengutamakan hasil panen dari kebunnya sendiri,” ujar Amin yang tinggal di Kalimantan Selatan ini.
Tanpa penyerapan pasokan buah, menurut Amin, kebun petani bakalan mangkrak. Karena tidak ada kegiatan panen. Akibatnya, pendapatan petani dipastikan tertekan. Menjelang Idul Fitri kemarin, Harga TBS nyungsep di kisaran Rp 1.500/kg dari sebelumnya di atas Rp 3.000/kg.
APKASINDO telah mengumpulkan data harga TBS sawit di delapan provinsi dari Posko Pengaduan Harga TBS. Faktanya, Peraturan Menteri Pertanian Nomor 01/2018 dan Pergub Tata Niaga TBS di delapan provinsi dan terakhir surat edaran Dirjen Perkebunan Nomor 165 Tahun 2022 praktis tidak dipedulikan oleh semua pabrik kelapa sawit.
Rerata penurunan harga TBS sebesar 58,87% terutama di provinsi yang memiliki Pergub Tata Niaga TBS sepanjang 23-30 April 2022. Penurunan harga paling signifikan terjadi di provinsi tanpa aturan Tata Niaga TBS. Harga dapat turun sampai 65,45%.
Di pasar global, negara produsen sawit lain seperti Malaysia, Thailand, dan Afrika bakalan diuntungkan.”Sementara itu, Indonesia berpeluang kehilangan devisa ekspor sampai 250 triliun,” urainya.
Ia juga mengusulkan supaya duit pungutan ekspor digunakan untuk mensubsidi penyaluran minyak goreng kemasan sederhana lewat Bulog. Jumlahnya sesuai kebutuhan rakyat bawah selanjutnya Bulog menyalurkan ke pasar dengan HET Rp.14.000 per liter sampai kepada konsumen. Selain itu, biaya transportasi minyak goreng perlu mendapatkan subsidi supaya benar-benar HET sampai kepada konsumen.
“Itu baru negara hadir untuk menjalankan amanat UUD 1945. Jangan lupa BPDPKS juga membantu subsidi pupuk ke petani sawit melalui program sarana prasarana,” ujarnya.
Di tengah anjloknya harga TBS, dijelaskan Amin Nugroho, petani juga harus menanggung tingginya harga pupuk non subsidi. Dari data APKASIND0, Berdasarkan catatan Apkasindo, harga pupuk NPK di tingkat pengecer telah mencapai Rp12.500 per kilogram atau sekitar Rp625.000 per sak (50 kilogram) di kawasan Sumatera Utara, Sulawesi Barat, Kalimantan Selatan hingga Riau. Sebelumnya, harga pupuk NPK berada di angka Rp280.000 per sak.
“Kami petani sawit tidak cengeng, tapi kalau sudah seperti ini kenaikan harga pupuk, secara hitungan teori apapun pasti gak masuk akal. Harusnya produsen pupuk plat merah (BUMN) tidak ikut-ikutan mengambil untung berlebih, harusnya menjadi benteng penyeimbang harga,” pungkas Amin.