Pemerintah diminta bersikap tegas dengan implementasi Indonesian Palm Oil Pledge (IPOP). Standar baru ini jelas melanggar regulasi pemerintah dan menginjak kedaulatan bangsa. Jika terus dilanjutkan, berpotensi menciptakan konflik sosial di masyarakat. Ada kepentingan negara asing di balik pelaksanaan IPOP.
Sudah hampir tiga bulan lamanya, Sabri Basyah sulit tidur nyenyak. Pemilik kebun sawit PT Mopoli Raya ini resah akibat produksi minyak sawitnya tidak lagi dibeli Wilmar dan Musim Mas. Pangkal masalah bermulai dari kegiatan pembukaan lahan baru untuk pekebunan sawit di daerah Langsa, Aceh Timur. Sabri menyebutkan pembukaan lahan tersebut dituding tidak sesuai kriteria IPOP.
Wilmar dan Musim Mas adalah perusahaan yang menandatangani Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP) atau disebut ikrar Minyak Sawit Iindonesia. Selain itu, perusahaan kakap sekelas Cargill, Asian Agri, dan PT Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART) Tbk anak usaha Golden Agri Resources Ltd , mendeklarasikan bergabung dengan IPOP. Mereka semua disebut The Big Five Company.
Dalam IPOP, ada sejumlah kriteria yang wajib dijalankan perusahaan peserta; tidak akan membuka kebun di lahan hutan (deforestasi). Berikutnya, melarang penggunaan lahan gambut untuk perkebunan swit. Perlindungan kepada lahan stok karbon tinggi (HCS). Terakhir, perusahaan sawit tidak menerima atau menampung Tandan Buah Segar (TBS) sawit dan CPO yang berasal dari lahan sawit hasil deforestasi, lahan gambut dan HCS.
Lahan sawit yang sedang dibuka PT Mopoli Raya dituding melanggar salah satu kriteria IPOP. “Alasan mereka, lahan kami itu terdapat areal dengan stok karbon tinggi. Areal ini memang masuk ke dalam HGU kami (red-Hak Guna Usaha),” kata Sabri.
Namun, dia menyayangkan sikap Wilmar dan Musim Mas yang memukul rata produksi minyak sawit Mopoli. Pasalnya, lahan di Langsa dalam proses land clearing yang berarti belum menghasilkan buah. “Kami jual minyak sawit dari kebun yang lain. Tapi tetap tidak boleh,” keluh Sabri.
Tidak ingin masalah berlarut, Sabri Basyah sementara waktu menghentikan pembukaan lahan barunya. Dengan harapan, kedua grup besar tersebut kembali menerima minyak sawit produksi Mopoli. “Jika masalah ini dibiarkan, saya khawatir akan merugikan petani karena mengurangi pembelian TBS mereka,” kata Sabri.
Togar Sitanggang, Manager Senior Musim Mas mengakui, perusahaan memang tidak lagi membeli CPO dari PT Mopoli Raya. Namun, dia enggan merinci pelanggaran PT Mopoli Raya terhadap kriteria IPOP. “Selain Mopoli, ada satu atau dua perusahaan perkebunan lain yang minyak sawitnya tidak kami beli,” jelas Togar. Tapi dia enggan menyebutkan nama perusahaannya.
Sabri Basyah menjelaskan mekanisme IPOP memakai pendekatan grup, ini artinya ketika satu anak perusahaan bermasalah. Maka berimbas kepada produksi di anak usaha lain.
Perusahaan sawit lainnya yaitu PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk mengalami nasib serupa. Sunggu Situmorang, Senior Head Corporate Finance and Government Relation PT Sawit Sumbermas Sarana (SSS), menyebutkan produksi sawit perusahaan ditolak masuk ke The Big Five Company, penandatangan IPOP.
(Selengkapnya baca Majalah SAWIT INDONESIA Edisi September-Oktober 2015)