JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Ekspor CPO Indonesia mengalami penurunan pada November kemarin akibat sejumlah masalah seperti melubernya stok minyak kedelai, isu kesehatan,kebijakan biodiesel, dan sustainable palm sourcing.
Seperti dikatakan Fadhil Hasan, Direktur Eksekutif GAPKI, rendahnya permintaan karena adanya melimpahnya stok kedelai di dalam negeri dan isu sustainable palm oil sourcing, kebakaran lahan menjadi salah satu alasan bahwa minyak sawit Indonesia tidak sustainable. Selain itu perubahan regulasi pemberian insentif terhadap biodiesel di AS disinyalir menjadi salah satu penyebab turunnya ekspor ke AS. Pemerintah AS berencana merubah insentif blenders (pencampur) menjadi kepada produsen.
Sepanjang November volume ekspor minyak sawit Indonesia tercatat hanya mampu mencapai 2,385 juta ton atau turun sebsar 8,6% dibandingkan dengan ekspor bulan sebelumnya sebesar 2,61 juta ton.
Tak hanya itu, negara-negara Afrika yang menjadi pasar baru Indonesia membukukan penurunan drastis pemintaan minyak sawit dari Indonesia pada November ini. Lebih lanjut, katanya, merosotnya permintaan disinyalir terkait isu Pelarangan dari Food and Drugs Authority atau Otoritas Makanan dan Obat-obatan di Ghana setelah ditemukan banyaknya minyak sawit yang menggunakan pewarna sintetis yang membahayakan kesehatan. Sebagai informasi di negara-negara Afrika produk Red Palm Oil sangat populer.
Berikutnya, ekspor CPO Indonesia ke India turun signifikan pada November ini sebesar 25,5% atau dari 679,38 ribu ton pada Oktober tergerus menjadi 506,39 ribu ton di November. Penurunan permintaan dari India disebabkan adanya pelarangan penumpukan minyak nabati di dalam negeri dan Negeri Bollywood ini juga menaikan tarif impor khususnya untuk Butter Oil dari 30% menjadi 40%, khusus untuk minyak sawit sendiri para pengusaha industri hilir India bahkan mengusulkan kenaikkan tarif bea masuk menjadi empat kali lipat dari yang berlaku saat ini, karena harga minyak sawit yang murah telah mematikan industri hilir minyak nabati India.
Fadhil Hasan menyebutkan longsornya permintaan minyak sawit juga dicatatkan oleh Bangladesh meskipun secara kuantitas tidak besar akan tetapi secara persentase cukup signifikan. Sepanjang November ekspor minyak sawit Indonesia ke Bangladesh hanya mampu mencapai 44,85 ribu ton atau turun 55% dibanding ekspor bulan sebelumnya sebesar 99,96 ribu ton. Hal yang sama diikuti Amerika Serikat (AS).
Kinerja ekspor minyak sawit ke Negeri Paman Sam pada November melorot 30% atau hanya mampu mencapai 82,19 ribu ton. Selain itu perubahan regulasi pemberian insentif terhadap biodiesel di AS disinyalir menjadi salah satu penyebab turunnya ekspor ke AS. Pemerintah AS berencana merubah insentif blenders (pencampur) menjadi kepada produsen.