JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Amerika Serikat tidak lagi menjadi pasar tujuan ekspor biodiesel Indonesia semenjak 2017. Pasalnya, harga biodiesel dari Indonesia sulit bersaing dengan biodiesel Amerika Serikat yang mendapatkan subsidi tinggi.
“Saat ini (2017), tidak ada produsen biodiesel yang ekspor ke Amerika. Karena harganya kurang bisa bersaing dengan biodiesel produk Amerika,” ujar Paulus Tjakrawan, Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) melalui layanan pesan singkat dalam perjalanan dari Bonn, Jerman ke Indonesia, Minggu, 19 November 2017.
Mengapa biodiesel Indonesia tidak kompetitif dengan Amerika Serikat? Studi yang dilakukan Global Subsidies Initiative, International Institute for Sustainable Development (Koplow, et.al 2007) sebagaimana dilansir situs indonesiakita.or.id menunjukkan bahwa industri biodiesel Amerika Serikat memperoleh berbagai bentuk subsidi tak langsung mulai dari sektor bahan baku (pertanian), modal, transportasi, riset dan promosi, hingga pada mata rantai konsumsi biodiesel tersebut. Besarnya subsidi industri biodiesel Amerika Serikat dalam periode 2006-2016 mencapai US$15 miliar-US$17.l,6 miliar atau sekitar US$1,5 miliar-US$1,7 miliarsetiap tahun.
Hasil studi tersebut juga mengungkapkan bahwa dalam periode tahun 2006-2016, rata-rata intensitas subsidy (estimasi terendah) biodiesel Amerika Serikat adalah sekitar 63 persen dalam harga eceran biodiesel. Rataan harga eceran biodiesel kedelai murni (B100) di Amerika Serikat tahun 2016 adalah Rp 10.435 per liter. Jika subsidi biodiesel di hapus maka harga biodiesel Amerika Serikat yang sesungguhnya adalah sekitar Rp17.000 per liter.
Paulus menambahkan ada dua jenis bea masuk yang akan dibebankan terhadap ekspor biodiesel Indonesia ke Amerika Serikat. Bea masuk ini berkaitan dengan tuduhan subsidi dan yang kedua berhubungan dengan tuduhan dumping harga.
Melalui siaran pers resmi di laman www.commerce.gov, pada 9 November 2017, Sekretaris Perdagangan A. Wil. Ross mengumumkan hasil final investigasi countervailing duty (CVD) atau penetapan bea masuk imbalan terhadap impor biodiesel dari Argentina dan Indonesia.
Menindaklanjuti hasil dari keputusan tersebut, Departemen Perdagangan akan menginstruksikan AS Customs and Border Protection (CBP) untuk mengumpulkan setoran tunai berasal dari importir biodiesel Argentina dan Indonesia berdasarkan tarif akhir.
Menanggapi kebijakan countervailing duty, dikatakan Paulus Tjakrawan, baik perusahaan dan pemerintah sedang menyiapkan langkah antisipasi. “Pasti perusahaan dan pemerintah (Kemendag) akan berupaya untuk melawan melalui banding.”
“Perusahaan akan ke pengadilan di Amerika. Pemerintah akan melakukan lobi juga kemungkinan dibawa ke WTO,”jelas Paulus.
Dalam siaran pers resmi di laman kemendag.go.id, Menteri Perdagangan RI, Enggartiasto Lukita, meminta pemerintah Amerika Serikat untuk mempertimbangkan kembali putusan final bea masuk imbalan (countervailing duty) atas produk biodiesel Indonesia yang masuk ke Negeri Paman Sam itu. Pasalnya, putusan Departemen Perdagangan dinilai bersifat overprotektif.
“Indonesia tidak segan-segan mengajukan gugatan melalui mahkamah AS maupun melalui jalur Dispute Settlement Body WTO,” tegas Menteri Enggartiasto.
Dampak dari kebijakan Amerika diperkirakan akan berpengaruh kepada industri biodiesel dalam negeri. Saat ini kapasitas terpasang Biodiesel Indonesia berjumlah sekitar 12 juta Kiloliter (Kl). Dari jumlah tersebut, kata Paulus yang baru terserap dalam negeri rata-rata 3 juta Kl per tahun. Ini berarti hanya 25 persen serapan pasar domestik.
“Untuk itu kita perlu ekspor, jika tidak maka kinerja industri akan rendah dan akan berdampak kepada efisiensi, harga, tenaga kerja dan lain nya,” papar Paulus.
Dari aspek makronya, ditambahkan Paulus, Indonesia tidak bisa mendapatkan nilai tambah dari industri hilir sawit. Pada akhirnya, pendapatan Indonesia baik industri dan pemerintah tidak akan maksimal.