YOGYAKARTA, SAWIT INDONESIA – Dewan Pembina Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengungkapkan bahwa kebijakan pemerintah makin tidak menentu bagi pelaku usaha. Persoalan yang dihadapi adalah ketidakpastian penyelesaian kawasan hutan yang harus dijalankan pelaku usaha.
“Masalahnya itu, terlalu banyak yang ngurusin, complicated dan penyelesaian itu tidak mudah dan sekarang tidak jelas. Urusan kawasan hutan itu dari 2008, berganti periode sampai saat ini [tidak ada kejelasan],” ujar Joko dalam diskusi “Kajian Implementasi Kebijakan pada Ekosistem Bisnis Perkebunan Kelapa Sawit”, Selasa (24/10/2023).
Menurutnya, mengenai polemik tersebut sejatinya lebih terang-benderang dengan kehadiran Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK). Dalam pasal dalam UU itu bisa diselesaikan lewat pergantian administratif dan tidak ada pidana. Namun, ketidak jelasan kategori 110 A atau 110B sebagai imbas persoalan tata ruang, maka perusahaan bisa masuk 110 B semua.”Kondisi tadi menyebabkan beban biaya sangat berat bagi kebun bahkan berpotensi membuat kebun tutup,” jelasnya.
“Diselesaikan secara administrasi, ada proses ganti rugi. Itu bagus. Tapi masalahnya peraturan turunannya, ada PP 24 yang mensyaratkan tata ruang di mana tata ruang tersebut menjadi tidak jelas. Makanya peraturan turunannya sudah ada. Tinggal, Satgas Sawit mengkoordinasikan proses penyelesaian agar terintegrasi karena disitu ada BPK, BPKP, ATR-BPN, Kejaksaan, Polri,” jelas Joko.
Padahal, kata Joko, satgas tersebut tadinya diharapkan dunia usaha agar menjadi wasit dalam kebijakan perkelapasawitan yang saat ini regulasinya tumpang-tindih dan terlalu banyak diurusi banyak lembaga pemerintah.
Masalah lain membuat “pusing” pelaku sawit adalah status HGU (Hak Guna Usaha) kebun sawit. Menurutnya, kebun yang telah berstatus HGU tetap harus mengurus pelepasan kawasan hutan. Walaupun, kedudukan hukum HGU lebih tinggi lebih tinggi kekuatan hukumnya dibandingkan kawasan hutan yang baru sebatas penunjukan.
“Saya tahu [Kementerian] ATR-BPN kenceng menyatakan HGU ya sah, final, bener. Tapi cuma disitu aja. Tapi ini tidak bisa jadi kesimpulan pengambilan keputusan di satgas itu. Karena itulah, Satgas harus mampu menjadi wasit jika terjadi “dispute ” masalah penafsiran tata ruang, penetapan apakah masuk 110 A atau 110 B, nominal denda,” ungkap Joko.