Artinya, tambahan manfaat yang ditimbulkan kebijakan pajak ekspor CPO dan turunannya harus dibayar dengan pengurangan manfaat yang lebih besar dari produsen minyak sawit dan masyarakat yang ikut dalam proses produksi minyak minyak sawit. Pengurangan manfaat tersebut terjadi pada daerah-daerah sentara produksi CPO yang merupakan bagian penting dari pengembangan ekonomi daerah yang sedang difokuskan pemerintah itu sendiri dalam era otomoni daerah.
Selain itu, kebijakan pajak ekspor yang berdampak pada penurunan produksi perkebunan kelapa sawit juga perlu diperhatikan. Dalam kondisi saat ini terutama kedepan, dimana lahan makin terbatas seharusnya peningkatan produksivitas menjadi andalan Indonesia untuk meningkatkan produksi CPO. Namun, dengan adanya disinsentif (akibat kebijakan pajak ekspor) dapat mengagalkan upaya peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit Indonesia selama ini patut diduga karena disinsentif tersebu. Akibatnya, investasi R&D yang dikeluarkan pemerintah juga tidak teradopsi dalam perkebunan kelapa sawit.
Dengan catatan dampak kebijakan pajak ekspor sebagaimana diuraikan di atas, cara penetapan pajak ekspor tersebut juga masih memiliki beberapa kelemahan, yakni: (1) penetapan pajak ekspor CPO dan turunannya secara advalorem mengubah keseimbangan produsen CPO sehingga direspons dengan penurunan produksi. Seharusnya, kebijakan pajak ekspor yang ditempuh didasarkan pada specific tax sehingga tidak mengubah keseimbangan produsen. (2) Penetapan HPE dan tarif bea keluar secara periodik oleh pemerintah menimbulkan ketidak pastian bagi pelaku agrobisnis minyak sawit seperti perencanaan kontrak-kontrak. Hanya pelaku agrobisnis minyak sawit yang terintegrasi secara vertikal yang tidak menghadapi ketidak pastian tersebut, dan (3) Penetapan besaran tarif yang tidak mengikut sertakan variabel perubahan (deperesiasi, Apresiasi) krus rupiah dapat mengubah beban produsen minyak sawit (CPO), tergantung pada kecenderungan pengelolaan krus. Apresiasi mata uang rupiah sama artinya pajak implisit bagi eksportir sehingga bila ditambah dengan tarif normal yang ditetapkan pemerintah akan menambah pajak ekspor yang menjadi beban produsen/eksportir. Artinya, dalam menentukan tarif bea keluar, variabel depresiasi/apresiasi krus perlu dipertimbangkan.
Sumber : GAPKI