JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Pemerintah Republik Indonesia telah menyiapkan serangkaian skenario untuk menghadapi putusan WTO (World Trade Organization) berkaitan gugatan terhadap kebijakan Renewable Energy Directive (RED) II. Saat ini, Indonesia tengah menunggu diterbitkannya Panel Report yang diperkirakan akan keluar pada bulan akhir tahun 2022 atau awal 2023.
“Pemerintah Indonesia telah menyampaikan argumentasi dan pembelaan secara ilmiah terhadap diskriminasi sawit ini dengan melibatkan berbagai stakeholder kelapa sawit,” ujar Moch Edy Yusuf, Asisten Deputi Pengembangan Agribisnis Perkebunan Kemenko Bidang Perekonomian RI, “Menyikapi Berbagai Skenario Putusan WTO tentang RED II”, dalam FGD Selasa (1 November 2022).
Edy Yusuf menjelaskan bahwa pemerintah Indonesia punya optimisme besar memiliki peluang dalam memenangkan gugatan ini.”Tetapi, pemerintah juga mengantisipasi adanya kemungkinan banding dari Uni Eropa apabila Indonesia menang dalam gugatan ini. Sehingga tentunya Pemerintah perlu terus mengantisipasi dengan berbagai skenario hasil gugatan yang mungkin terjadi,” jelas Edy.
Sebagai catatan, Pemerintah Indonesia telah melakukan gugatan kebijakan RED II kepada Organisasi Perdagangan Internasional (WTO) dan telah ditangani oleh Dispute Settlement Body WTO telah didaftarkan dengan kode WT/DS 593. Kebijakan yang memuat persyaratan teknis terhadap biofuel ini dinilai mendiskriminasikan sawit sehingga melanggar prinsip “fair and free trade” yang telah disepakati bersama dalam kerangka organisasi perdagangan dunia.
Proses penyelesaian sengketa telah melalui negosiasi pada First and Second Substantive Meeting. Terdapat negara-negara produsen dan pengekspor kelapa sawit besar di dunia yang turut bergabung dalam proses konsultasi.
Natan Kambuno, Direktur Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan RI menjelaskan bahwa proses penyelesaian sengketa DS 593 menghadapi sejumlah kendala antara lain kekosongan hakim juri/arbitrator di appellate body atau badan banding. Minimnya hakim juri ini akibat blokade penunjukkan arbitrator oleh Amerika Serikat semenjak 2017.
Oleh karena itu, ada tiga opsi yang dapat diambil pemerintah dalam penyelesaian sengketa diantaranya banding/appeal, tidak banding, dan mutually agreed solutions.
Dalam presentasinya, dijelaskan Natan, ada tiga skenario yang dapat diambil apabila hasil putusan WTO menguntungkan Indonesia. Pertama, tidak dilakukan banding dengan asumsi bahwa Uni Eropa mematuhi putusan atau Uni Eropa tidak mengikutinya dengan kemungkinan terjadi retaliasi. Kedua, melakukan banding dengan arbitrase ad hoc. Terakhir adalah melakukan mutually agreed solutions.
Menurutnya, pemerintah Indonesia sebaiknya menghindari banding melalui Multi-Party Interim Appeal Arrangement (MPIA) karena tidak menguntungkan melalui Indonesia. Pertama, Indonesia harus menjadi anggota MPIA dan mengikat kasus sengketa Indonesia selanjutnya di WTO. Faktor Kedua adalah Indonesia tidak bisa memilih arbitrator.
“Target hasil gugatan DS 593 yaitu Uni Eropa diharapkan mengubah kebijakannya yang bersifat diskriminatif dan menghambat perdagangan. Kami ingin mengamankan akses pasar biofuel ke Eropa yang sekarang telah dibebani bea masuk 8 persen sampai 18 persen oleh Eropa,” jelasnya.
Rino Afrino, Sekjen DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) mendukung langkah pemerintah Indonesia untuk mengamakan akses pasar ekspor sawit termasuk biofuel di Uni Eopa. Kebijakan RED II jelas tidak adil dan diskriminatif.
“Kebijakan Eropa ini akan berdampak kepada petani sawit termasuk putusan sengketa RED II di WTO. Pentingnya peranan kelapa sawit bagi peningkatan kesejahteraan petani sudah kami sampaikan kepada Dubes Uni Eropa untuk Indonesia,” pungkas Rino.