Tiga negara produsen sawit: Indonesia, Malaysia, dan Kolombia melakukan kegiatan diplomasi ke Uni Eropa, untuk mengantisipasi pemberlakuan Delegated Regulation sebagai turunan RED II. Akan tetapi Uni Eropa tetap bergeming.
Pemerintah Indonesia bergerak cepat. Keputusan Komisi Uni Eropa yang menyetujui terbitnya Delegated Regulation menuai banyak kritikan termasuk dari Indonesia. Presiden Joko Widodo dan jajaran menterinya segera merespon keputusan ini.
Pada 5 April 2019, Pemerintah Indonesia dan Malaysia sepakat untuk menyampaikan keberatan terkait diskriminasi produk minyak kelapa sawit dan turunannya kepada Uni Eropa (UE) melalui surat yang ditandatangani bersama oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Perdana Menteri (PM) Mahathir Mohamad. Dalam surat itu berisi keberatan Indonesia dan Malaysia sebagai negara utama pemasok sawit dunia atas diskriminasi oleh Uni Eropa. Selain itu, kedua negara menyepakati akan membawa delegated regulation ke forum WTO karena aturan ini dinilai diskriminatif terhadap sawit.
Selain statement keras, misi bersama digalang Indonesia bersama Malaysia dan Kolombia sesama negara produsen sawit. Menko Perekonomian RI, Darmin Nasution menyebutkan joint mission langsung menuju Brussel, Belgia yang menjadi sentral otoritas Uni Eropa (UE). Diplomasi ini dilakukan untuk menjaga kelangsungan industri dan perlindungan kepada para petani kelapa sawit atas diskriminasi terhadap komoditas kelapa sawit.
Selama dua hari di Brussel, tim bertemu perwakilan parlemen dan komisi Uni Eropa. Antara lain Wakil Presiden Parlemen Eropa Heidi Hautala, perwakilan Komisi Eropa (Miguel Arias Canete dan Karmenu Vella), perwakilan Dewan Eropa, dan sejumlah perusahaan Uni Eropa.
Dalam pertemuan, dijelaskan Darmin bahwa Komisi Uni Eropa mengusulkan pembentukan forum bersama untuk membahas keberlanjutan status sawit pada 2021. Inipun melalui perdebatan alot. Usulan ini mendapatkan respon positif Indonesia. Kendati demikian, dikatakan Darmin, pihaknya tidak dapat menerima usulan ini sepenuhnya. Jika forum bersama yang ditawarkan tidak berdampak positif bagi Indonesia. Sebab, melihat yang sudah-sudah, penawaran semacam itu tak berujung pada kejelasan.
Forum bersama sejatinya dapat terlaksana asalkan ada kesepakatan tertulis antara kedua belah pihak sebagai landasan kebijakan sawit pada tahun 2021. Sebagaimana tercantum dalam s kebijakan RED) II bahwa di tahun tadi Uni Eropa membuka kesempatan untuk melakukan peninjauan ulang kebijakan. Sekaligus, kriteria dalam menetapkan kategori sawit apakah memiliki risiko tinggi atau rendah terhadap lingkungan.
“Jadi yang berubah pada 2021 bukan regulasinya (RED II). Melainkan kategori bahan bakar nabati berbasis sawit ini memiliki kategori high risk atau low risk. Ini bukan keinginan kita, tetapi Eropa yang usulkan,” kata Darmin.
Saat ini RED II belum diputuskan karena harus dibawa ke Dewan Eropa. Diperkirakan baru Mei akan diketahui pemberlakuan kebijakan ini. Itu sebabnya itu, pemerintah terus berjuang mempertahankan komoditas sawit untuk tidak dihapuskan.
“Metodologi dan hipotesa yang digunakan UE tentang risiko dan pengaruh buruk kelapa sawit terhadap perusakan hutan tersebut ditetapkan secara sepihak, bertentangan dengan fakta yang ada, dan tanpa dilakukan impact analysis,” ujar Opung Darmin Nasution.
Darmin menegaskan faktanya kelapa sawit memiliki produktivitas yang jauh lebih tinggi (8-10 kali) dan penggunaan lahan yang jauh lebih kecil dibandingkan vegetable oils lainnya. Dengan pertumbuhan permintaan vegetable oils yang terus bertumbuh, maka apabila phase-out terhadap kelapa sawit dilakukan, maka justru akan menyebabkan pembukaan lahan baru yang masif untuk produk vegetable oils lainnya;
Selain itu, penggunaan basis awal tahun 2008 sebagai metodologi penghitungan dari ILUC dilakukan tanpa alasan yang kuat. Penetapan tahun 2008-2015 sangat merugikan kelapa sawit dan menguntungkan vegetable oils lainnya.
Selanjutnya, Darmin menyebutkan terdapat gap pemahaman yang besar terhadap produk kelapa sawit maupun kebijakan pengembangannya. Masifnya kampanye negatif terhadap kelapa sawit menimbulkan persepsi yang salah (sebagai contoh, di Italia, kampanye produk bebas kelapa sawit (palm oil free) 5 kali lebih besar dan masif dari pada iklan coca cola). Hal ini disebabkan terjadi persaingan antara minyak kelapa sawit dengan minyak rapeseed maupun sunflower.
Darmin menuturkan setelah Parlemen Eropa yang baru terbentuk hasil Pemilu Mei 2019, akan segera dilakukan diskusi dengan Pemerintah Indonesia terkait RED II. Beberapa pemangku kepentingan industri kelapa sawit di UE akan membentuk wadah komunikasi terkait upaya kampanye positif kelapa sawit di UE.
“Para pelaku usaha dari perusahaan multinasional (MNCs) juga sepakat untuk mendukung secara penuh upaya Pemerintah RI dalam menanggapi kebijakan diskriminatif ini,” jelas Darmin.
Dalam pertemuan dengan pihak UE ini, Pemerintah RI juga telah menyampaikan langkah-langkah yang akan dilakukan apabila pengesahan Delegated Regulation RED II tetap dilakukan, termasuk melakukan review terhadap kerjasama bilateral Indonesia dengan UE dan negara-negara anggotanya serta menempuh proses litigasi melalui forum World Trade Organization (WTO).
Menko Darmin pun mengatakan, gangguan dan diskriminasi kelapa sawit tentunya
akan berdampak negatif terhadap program pengentasan kemiskinan dan menghambat
pencapaian Indonesia dalam Sustainable Development Goals (SDGs)
yang telah ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sebagai informasi,
19,5 juta orang bekerja pada industri ini, termasuk 2,6 juta petani kecil (smallholders
farmer).