Jakarta, SAWIT INDONESIA – Petani sawit berharap pemerintahan yang akan datang mengambil langkah strategis dengan meninjau-ulang klaim lahan sawit dalam kawasan hutan. Pasalnya, jika pasal 110B Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja diterapkan, Indonesia akan berpotensi kehilangan pendapatan Rp131 triliun per tahun dari sektor industri sawit, belum resiko sosial kamtibmas dan ekonomi lainnya. Bagi kami petani sawit, hal itu jelas mal-administrasi terang-terangan.
Demikian disampaikan Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Dr Gulat ME Manurung dalam Diskusi Publik Pencegahan Maladministrasi dalam Layanan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit di Kantor Ombudsman RI, Jakarta Selatan pada Senin (27/5/2024).
Gulat menjelaskan, angka tersebut berasal dari potensi kehilangan 2,8 juta hektar kebun sawit karena penerapan pasal 110B. Dalam beleid itu, lahan yang masuk dalam kawasan hutan membayar denda-denda dan tidak boleh direplanting dan akan dikembalikan menjadi kawasan hutan. Sedangkan ada 2,8 juta ha kebun sawit yang masuk kategori pasal tersebut.Pertanyaannya, Siapa yang mengembalikan menjadi hutan? dan dari mana biayanya?.
Jika 2,8 juta ha dihutankan kembali tentu dibutuhkan puluhan ribu triliun dan puluhan tahun. Ada baiknya KLHK fokus saja ke hutan yang masih berhutan patokan tahun 2020 ke atas sebagaimana amanah UUCK.
“Kita juga akan kehilangan Rp131 triliun di sektor hilir per tahun, belum lagi hulunya. Kita sibuk ngundang investor, tapi justru mematikan investasi lokal. ini Rp131 triliun loh, pak. aneh emang kebijakan maladministrasi tersebut. Satu daur tersebut disetarakan 12 juta ton, CPO terbuang sia-sia disaat Pak Prabowo sangat brilian up grade ke B40-B100” ujar Gulat dalam forum tersebut.
Padahal, menurut Gulat, presiden terpilih Prabowo Subianto kerap mendengungkan Indonesia akan berdaulat secara energi dengan terus ditingkatkannya biodiesel dan menolkan impor solar.Namun, cita-cita Prabowo tersebut tidak akan terwujud jika 12 juta ton akibat kebijakan KLHK tidak dicabut. Apalagi, kata dia, ekspor Indonesia pun dari tahun ke tahun terus melorot dan hal ini ancaman berat rasio devisa.
“Dalam asumsi, jika kebutuhan konsumsi pangan stabil bersamaan dengan diterapkannya B50, kita sudah minus 1,2 juta ton CPO, artinya tidak akan ada ekspor lagi. Padahal kita hidup dari devisa, kemarin Rp700 triliun ya kalau gak salah devisa dari ekspor. Coba KLHK mengganti devisa tersebut dari usaha kehutanannya, mungkin gak?. Saya sangat setuju keberlanjutan tapi jangan lupa roh keberlanjutan itu tiga dimensi, yaitu dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan. Jadi dimensi yang satu jangan meniadakan dimensi lainnya, harus seimbang” tegas Gulat.
Menurut Gulat, cara agar industri sawit bisa terselamatkan yakni dengan mengeluarkan kawasan hutan dari perkebunan sawit.
“Saya juga sepakat mempertahankan luasan sawit saat ini, asalkan saja kita konsukuen mendukung replanting kebun rakyat, karena masalah produkstivitas sawit itu ada dikebun sawit rakyat.Saat ini, potensi produktivitasnya baru 25-30% dan itu hanya bisa 100% jika replanting. Artinya dulu [produktivitasnya] 400 kg per ha per bulan, sekarang dapat 3,5 ton per ha per bulan yang ditanam [replanting] Pak Jokowi di beberapa daerah dengan rendemen 23-28 persen. Sekarang saja rendemennya baru 18 persen (tanaman sawit rakyat yang belum replanting). Artinya intensifikasi saja, replanting saja, tidak usaha tambah luas lahan eksisting tertanam 2020 ke bawah,” kata Gulat.
“Dengan begitu, hanya cukup dengan replanting tanpa perlu penambahan luasan lahan sawit, Indonesia akan berjaya dalam sektor sawit. Ini kok malah dilarang replanting,” pungkasnya.