YOGYAKARTA, SAWIT INDONESIA – Pemerintah diminta lebih berhati-hati dalam kebijakan penyelesaian perkebunan sawit yang diklaim dalam kawasan hutan. Pasalnya, aturan ini berpotensi membuat Indonesia kehilangan 2,725 juta hektar yang setara hampir setengah dari luas perkebunan Malaysia.
Kekhawatiran ini disampaikan Ketua Umum DPP APKASINDO, Dr. Gulat ME Manurung, MP, CIMA, saat berbicara dalam Podcast Forum Sawit Indonesia (FoSI) “Kajian Implementasi Kebijakan pada Ekosistem Bisnis Perkebunan Kelapa Sawit”, Selasa (24 Oktober 2023) di Kampus Instiper Yogyakarta.
Kekhawatiran Gulat ini merujuk kepada terbitnya Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) yang memuat data dan informasi (DATIN) atau disingkat SK Datin KLHK berkaitan kegiatan usaha yang terbangun di dalam kawasan hutan yang tidak memiliki perizinan di bidang perkebunan.
Saat ini, SK Datin KLHK telah terbit sampai tahap ke 14 yang dari perhitungan kami total korporasi yang sudah masuk SK Datin adalah seluas 1,963 juta hektar (50,22% dari total 3,374 juta hektar) dan kelompok petani seluas 483 ribu hektar (14,32%).
Ini berarti total kebun sawit yang sudah masuk di SK Datin seluas 2,44 juta hektar. Jika patokannya adalah 3,374 juta hektar aktivitas perkebunan sawit yang diklaim dalam kawasan hutan, berarti masih tersisa 816 ribu hektar yang belum masuk SK Datin.
Jika menganalisa kondisi ini nampaknya dari total yang sudah di SK Datin tersebut berpotensi dikenakan Pasal 110B seluas 1,908 juta hektar ditambah yang belum masuk dalam SK Datin seluas 816 ribu hektar, maka total yang tidak bisa direplanting (sesuai Pasal 110B) mencapai 2,725 juta hektar.
Menurutnya apabila asumsi ini digunakan, maka Indonesia dalam 5-10 tahun kedepan akan kehilangan luas perkebunan sawit seluas 2,725 juta hektar atau hampir setengah dari luas perkebunan sawit Malaysia.
Dengan lenyapnya luas perkebunan sawit tadi maka Indonesia akan kehilangan Rp 130,824 triliun per tahun dari aktivitas hulu hilir sawit tersebut belum termasuk pajak dan devisa negara.
“Ini baru dari sisi nominal produksi (Rp) belum lagi dari dimensi sosial dan dimensi lingkungan,” kata Gulat.
Selain itu, Doktor lulusan Universitas Riau ini menyoroti kandasnya capaian Progran Strategis Nasional (PSN) terkait ke Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang hanya 48% dari total rencana target 540 ribu hektar (tiga tahun target).
Ia pun mengatakan bahwa dalam diskusi dengan KLHK dan Dinas Kehutanan secara verbal mengatakan bahwa Kebun petani yang luasnya 5 ha ke bawah dan sudah dikuasai lebih dari 5 tahun langsung dikeluarkan dari kawasan hutan.
“Hal ini selaras dengan PSR, tapi faktanya tidak pernah terjadi, kami disuruh mengurus administrasi yang cukup berliku dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan sudah 3 tahun UUCK lahir, tidak satu hektar pun yang berhasil melampaui prosedur tersebut dalam kaitannya untuk mendapatkan rekomtek PSR. Hal ini berhubungan erat dengan gagalnya capaian target PSN-PSR tadi,” urai Gulat.
“Harusnya KLHK membuat surat edaran kepada DLHK dan ke semua kementerian/lembaga bahwa tipologi yang sejenis ini langsung clear, terkhusus dalam persyaratan mengikuti program-program pemerintah seperti PSR dan Sarpras lainnya,” tutur Gulat dalam sesi diskusi Podcast tersebut.
Penulis: Indra Gunawan