Hasil penelitian Handayani (2009) pada perkebunan kelapa sawit di Meulaboh menunjukan bahwa kedalaman muka air tanah berpengaruh terhadap fluks CO2. Gambut di dalam keadaan aerob terlihat bahwa semakin dalam muka air tanah (sampai dengan kedalaman muka air tanah tertentu) fluks CO2 semakin meningkat, sedangkan dalam keadaan anaerob fluks CO2 sangat rendah. Namun demikian dari hasil penelitian Tim HGI-GAPKI (Sabiham et al, 2015) menunjukan bahwa fluks CO2 tidak bersifat linier karena ada pengaruh kelembaban gambut yang mampu menurunkan fluks tersebut.
Ini membuktikan bahwa lahan gambut merupakan salah satu tipologi ekosistem rawa yang berperan penting di dalam siklus karbon global, dan saat ini menjadi perhatian serius bagi The United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Di dunia lahan gambut menyimpan C rata-rata 2000-3500 t C ha-1 dengan laju penyerapan sebesar 0,01-0,03 Gt C tahun-1 (Agus et al, 2010; Maltby dan Immirzi, 1996).
Bagaimana Memperlakukan Lahan Gambut yang Produktif?
Karena kebanyakan kekeliruan dalam implementasi pengembangan lahan gambut, tidak sedikit lahan gambut yang kurang/tidak berkembang (mal-developed) walaupun sudah dibuka cukup lama. Diperkirakan lebih dari 3jt ha dari 5 jt ha lahan gambut di Indonesia yang telah di buka merupakan lahan tidak berkembang (Sabiham, 2006).
Sebenarnya, dengan memperlakukan hutan rawa gambut secara baik dan benar sesuai dengan kemampuan/daya dukung lahan gambutnya, maka hasil yang diperoleh telah terbukti menjadi lebih baik. Contohnya, dalam perkembangan perkebunan (terutama perkebunan kelapa sawit) di beberapa tempat di pantai Timur Sumatera, serta pantai barat dan selatan Kalimantan, dengan pengelolaan yang tepat, telah memberikan hasil memuaskan produksi rata-rata dapat mencapai >18 t TBS ha-1, walaupun produksi yang di hasilkan tersebut masih lebih rendah bila dibandingkan dengan di Sarawak, Malaysia yang dapat mencapai hingga pada kisaran antara 20-28 t TBS ha-1. Selama pengelolaan lahan/tanah dilapangan, saluran-saluran primer dibuat dengan ukuran yang sesuai dengan kebutuhan, yang digunakan untuk memasukan fresh water (supply) dan mengeluarkan air lebih (drainase). Permukaan air tanah dipetakan (pada kisaran 40 cm pada musim hujan sampai 80 cm pada musim kemarau) dan disaluran terus dijaga ketat dengan membuat pintu air dan bangunan limpasan air, saluran sekunder (collection drain) dan primer (main drain) yang dibangun hanya untuk mengontrol muka air gambut di lapangan. Demikian pula pemberian unsur hara makro-mikro sesuai kebutuhan untuk pertumbuhan kelapa sawit, dilakukan dengan prosedur yang baik dan benar.
Sumber : Desain Pengelolaan Lahan Gambut Untuk Mendukung Produktivitas Berbasis Perkebunan, Prof. Dr. Supiandi Sabiham.